47. Bryan

61 14 2
                                    

"Gue harus mencari tahu soal berita ini," Alice berkata dengan penuh tekad, "Pasti ini, Bry, kuncinya. Bokap gue dibunuh oleh seseorang yang terlibat dalam peristiwa ini. Kalo kita bisa nemuin orang itu, semuanya bakal berakhir."

Aku bisa merasakan adrenalin mengalir dalam diriku. Jantungku seperti dipompa kuat-kuat. Ia benar. Ini mungkin saja merupakan titik terang dari pencarian kami yang selama ini buntu. Untung, aku merasa curiga saat melihat artikel-artikel itu dan langsung menghubungkannya dengan cerita Alice. Kalau tidak, mungkin kami akan melewatkan kunci yang berharga ini. "Coba, coba, lo baca berita lainnya. Klik next aja, masih ada beberapa artikel lain, kok," saranku.

Alice menekan tombol next dan membaca artikel-artikel di dalam foto dengan seksama. Aku ikut membaca berita-berita itu, dan dengan cepat menyadari bahwa semua kasus yang ada di dalam berita diinvestigasi oleh tim kepolisian yang dipimpin oleh Heri Santoso, yang notabene merupakan ayah Alice. Kasus pengeboman, penangkapan gembong narkoba, pembunuhan—semuanya kasus kelas berat.

Di antara semua itu, hanya ada satu artikel yang tidak menyebutkan nama Heri Santoso, dan itu adalah...

"'Pemilik Walker Corporation Menjadi Korban Pembunuhan Anak Balitanya Sendiri'?" Alice membaca judul berita itu dengan ragu, "Yang ini, lebih baru, deh, beritanya. Tahun 2001. Eh, bentar, bentar." Ia mengamati lagi foto itu sejenak, lalu menyambung, "Nggak, ding. Ada beberapa koran baru juga ternyata, selain ini. Tapi, yang ini nggak ada nama bokap gue."

"Menurut lo, kenapa artikel ini ada di sini?" tanyaku.

"Hmm... mungkin aja ini salah satu kasus di bawah investigasi bokap, tapi nggak ditulis namanya aja. Tetep aneh, sih. Yang lain ada namanya, kok," gumamnya, "Apa jangan-jangan, ini salah taruh aja, ya?"

"Gue meragukan itu," sanggahku. "Pasti ada sesuatu, deh."

"Iya, sih. Aneh banget," Alice menyetujui. "Tapi, yang jelas, gue tetep harus research berita ini satu-per-satu. Yang paling lawas artikel pertama tadi, sih, soal lukisan curian. Mungkin itu yang lebih relevan."

"Gue bantu, Lice," ujarku bersemangat, "Apa lo mau cerita ke yang lain soal ini?"

Alice terdiam sejenak, tampak ragu. Tetapi, akhirnya ia berkata, "Boleh, sih, biar lebih banyak yang bantu juga. Sebelum kita diancem Topeng Putih kayak Joshua kemarin, mending diomongin aja, deh, biar nggak bikin konflik lagi."

Aku mengangguk. "Lebih baik gitu, sih," ujarku, "Tapi... lo nggak apa-apa?"

Alice menghela napas panjang. "Ya... gimana, ya?" gumamnya, "Cepat atau lambat, harus diomongin juga, kan, Bry? Nggak mungkin kita bisa nyelesaiin kasus ini tanpa yang lain tahu tentang cerita keluarga gue."

Aku manggut-manggut, menyetujui perkataan itu. Selama beberapa saat setelah itu, kami hanya larut dalam pikiran masing-masing. Keheningan mengambil alih dengan cepat.

Kemudian, di tengah keheningan itu, Alice tiba-tiba membuka suara. "Bry," panggilnya, "Fellicia emang deket banget, ya, sama Andrew?"

Pertanyaan itu begitu random dan blak-blakan, sampai-sampai aku sedikit terkejut. Tentu saja, kami tidak bisa menghindari topik ini, terlebih saat seseorang yang telah menjadi korban Topeng Putih tiba-tiba saja kembali ke sekolah. Tetapi, fakta bahwa pertanyaan itu secara spesifik adalah yang pertama kali diutarakannya membuatku sedikit merasa tidak nyaman. "Iya, kayaknya?" balasku, "Kenapa?"

"Felli suka sama Andrew juga, ya?" tanyanya.

Aku mengeraskan rahang. "Gue kurang tahu, sih, soal itu," jawabku, dengan nada yang sedikit lebih ketus dari yang kurencanakan, "Jujur, sebelum ada IMS, gue hampir nggak pernah berkomunikasi selain urusan panti atau kelas sama mereka. Kayak... nggak nyambung aja, gitu, ngobrolnya. Sekadar temen sekelas."

"Oh, gitu..." Alice manggut-manggut, lalu tersenyum tipis. "Sori, ya, pertanyaan gue aneh. Cuma kepo aja—siapa tahu bisa berguna buat ngorek-ngorek info dari Felli, ya, kan?"

Bohong.

Alice jelas menanyakannya karena hal itu mengganggu pikirannya. Aku tahu, dia sebenarnya naksir Andrew. Aku seharusnya juga tidak mempermasalahkan hal itu. Tetapi, membayangkan dirinya bersama Andrew... rasanya tidak rela. Memang, Andrew bukan orang jahat. Tetapi, cewek sepolos ini, dengan orang seperti dirinya...

Mikir apa, sih, batinku, kok, jadi aku yang jahat?

"Iya, sih," aku membalas sambil memaksakan seulas senyum, "Mungkin Felli tahu sesuatu. Gampang, deh, nanti. Nggak usah dipikirin dulu, Lice."

Alice mengangguk. Keheningan kembali meliputi kami setelah itu.

"Oh, iya," Alice tiba-tiba memekik. "Kaos lo udah kering, loh."

Kalimat itu membuatku langsung teringat kejadian waktu itu, dan spontan, aliran darah naik ke wajahku. Alice pun tampak gelagapan saat mulai membuka lemarinya dan mengeluarkan selembar kaos dari dalam.

"I-ini. Thanks, buat—"

Aku mengacak rambutnya, menghentikan perkataannya di tengah jalan. "Buat lo aja kaosnya," ujarku, "Kalo mau nangis, pas nggak ada gue, lo bisa buang ingus sepuasnya di kaos itu."

Wajah Alice memerah seketika. "Ih, kok gitu, sih?" ia menepuk bahuku pelan, membuat aliran listrik seakan menjalar ke dalam jantungku, membuatnya berdebar kencang sampai-sampai aku harus memalingkan wajah sejenak.

"Beneran, ambil aja," kataku, "Biar lo selalu inget kalo gue ada buat lo di saat-saat sedih."

Alice menggembungkan pipi, membuat wajahnya semakin kelihatan imut. "Tapi—"

"It's okay, it's yours. Boleh lo pake juga, buat tidur, biar berasa ditemenin terus," potongku sambil tersenyum lebar. "Ya udah, deh. Gue balik dulu, Lice. Sampai ketemu nanti malem."

Setelah mengatakan hal itu, aku membuka pintu kamar dan keluar. Jantungku masih berdebar-debar dengan kencang saat aku sudah berjalan menjauh dari kamar itu, menuju kamarku sendiri yang letaknya hanya tepat di sebelahnya.

Kenapa aku selalu mengatakan hal-hal yang bukan seperti diriku saat bersama dengannya?

Aku pasti sudah gila sungguhan.

Saat masuk ke dalam kamar, aku langsung melompat ke atas kasur dan tersenyum-senyum sendiri sambil menutup wajahku dengan bantal. Aku lumayan yakin hal itu akan terus berlangsung kalau saja ponsel di sakuku tidak tiba-tiba berbunyi. Senyum seketika lenyap dari bibirku. Aku bergegas mengeluarkan ponsel itu dan membaca pesan yang baru saja masuk. Tentu saja, itu adalah pesan dari Topeng Putih.

''Hormat, grak!' Klu kedua. Good luck.'

Aku mengerutkan dahi. Apakah ini semacam lelucon? Klu macam apa itu?

 Apakah ini semacam lelucon? Klu macam apa itu?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
[COMPLETED] Curse of the Suicide GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang