Kayaknya Topeng Putih cuma mau mengerjai kami, deh.
Aku nggak ngomong begini hanya karena tersinggung dia nggak mengeluarkan soal Matematika di ronde kali ini—walaupun, jujur, aku tersinggung banget (semua orang seharusnya tahu kalau ujian Bahasa Indonesia selalu diikuti dengan ujian Matematika, kan? Itu, kan, pengetahuan umum!)—tetapi, karena soal kali ini, walaupun aku nggak sepenuhnya paham, terlalu membingungkan. Siapa saja bisa menjadi jawabannya. Aku bisa saja menjawab 'Pak Tanto' dan menghubungkannya dengan larik 'Ada, namun tidak terasa' dari klu pertama, dengan alasan nggak ada yang pernah benar-benar menggubris ocehannya di kelas, dan jawaban itu masuk-masuk saja, tuh. 'Tanpa lelah, Sang Korban merawatnya'. Pak Tanto rajin merawat kumis kambingnya, tuh. Perfect. Tapi, kan, nggak mungkin, yang dimaksud Pak Tanto. Yang ada, Topeng Putih bakal diterkam duluan sebelum sempat menyentuh barang sehelai kumis keramatnya saja.
Nggak usah melihatku seperti itu. Aku memang nggak pintar secara akademik, tetapi, itu nggak ada hubungannya. Buktinya, setelah dua jam berkutat dengan daftar nama di kertas Bryan, semua orang juga nggak bisa sampai pada kesimpulan apa pun kecuali mencoret beberapa nama.
"Olivia nggak mungkin," Andrew berkata, berniat mengeliminasi dugaan pertama, "Nggak bisa ngebayangin dia ngerawat sesuatu. Orangnya bukannya ceroboh dan nggak pedulian banget?"
"Ya, kan, bisa aja ini metafora," Bryan membalas.
"Nggak lucu, Bry, nggak nyambung," sahutku bersemangat, senang akhirnya mendapat kesempatan untuk mengolok-olok cowok pintar itu. "Emangnya korban selanjutnya kupu-kupu—bisa metafora? Terima aja kenyataan kalo ini soal Bahasa Indonesia, bukan Biologi."
Joshua, yang jelas-jelas nggak diajak ngomong, langsung melirikku sensi dengan ekspresi wajah yang jelek banget. "Bocah ngomong apa, sih?" cibirnya, "Metamorfosis, kali, maksud lo. Belajar yang bener, kek."
Kurang ajar. Aku malah diserang begini.
"Eh, lo aja, kali, yang nggak tahu! Metaformosis, tuh, kepanjangan, makanya disingkat metafora biar asik!" sahutku ngawur.
"Metamor—"
"Udah, woy, nggak usah bercanda dulu!" Bryan menyela dengan nada tegas. Aku hampir melompat kaget dan meringkuk di balik bahu Monster Andrew—yang untungnya nggak kulakukan—tetapi kemudian menyadari bahwa bentakan itu ditujukan kepada Joshua alih-alih kepadaku. Bryan menatap si Cowok Nanas dengan tajam selama beberapa detik, yang membuat semua orang di ruangan ini kebingungan.
Dia itu lagi PMS, ya?
"Er..." Alice bergumam ragu, "M-maksud Bryan, waktu kita, kan, nggak banyak. Dia tadi mau bilang, mungkin aja 'merawat sesuatu' yang dimaksud Topeng Putih itu perumpamaan."
Perkataan Alice membuat suasana sedikit mencair, walaupun ketegangan masih terasa. Si Cowok PMS mengalihkan pandangan dan berdeham canggung, lalu membenarkan. "Iya, bisa jadi maksudnya kayak merawat sesuatu yang nggak kelihatan, misalnya hubungan, reputasi, atau nilai."
"Tetep aja Olivia nggak masuk," Monster Andrew menjawab santai, sepertinya mencoba untuk mengikuti arus dan berpura-pura nggak ada yang terjadi barusan. "Dia, kan, nggak punya temen selain sesama anggota perkumpulan pemuja lo yang norak itu. Reputasi juga nggak bagus-bagus amat. Ranking walaupun bagus, tapi anaknya nggak ambis."
Begitulah, akhirnya mereka memutuskan untuk mencoret nama Olivia dari daftar.
"Jeffrey sama gue juga kayaknya nggak masuk, deh," Rosaline menimpali, "Jeffrey orangnya nggak pedulian sama barang dia—bukunya aja sering ditinggal di mana-mana. Dia juga nggak punya reputasi baik, terutama di depan guru, atau temen deket. Kalo gue, tadinya mungkin masuk, gara-gara gue selalu ngejaga pertemanan sama Kesha selama bertahun-tahun, walaupun bukan untuk ngebangun citra diri atau apa juga, sih. Tapi, misal iya pun, semua orang juga tahu, kan, kalo sekarang gue udah capek? Nilai gue juga so-so; reputasi non-existent."
Cowok PMS mengangguk-angguk, kemudian mencoret dua nama lagi dari daftar. Aku bergidik ngeri saat menyaksikan nama Jeffrey dicoret. Kalau dia nggak ada di daftar itu, berarti bisa jadi dia itu Topeng Putih, kan? Aku jadi tertarik untuk pindah ke kamar Cowok Nanas, walaupun dia sedikit kurang ajar dan bawelnya seperti ibu-ibu beranak lima. Apa aku benaran pindah saja, ya?
Detik selanjutnya, bayangan mengenai kaos dalam penuh keringat Luke yang tergeletak di lantai terlintas, dan otakku yang mendadak ternodai secara permanen pun mengurungkan niat.
"Gue coret Sam juga, ya," Cowok PMS mengumumkan, "Kalian tahu kenapa, kan?"
Yang lain mengangguk-angguk.
Apa maksudnya, tuh? Entah mengapa, aku merasa diejek.
"Oke, jadi di daftar kita, tinggal empat nama," simpul si PMS, "Iris, Luke, Gwen, dan... Joshua."
"Iris bisa, sih," Rosaline berpendapat, "Dia banyak yang dijaga. Duit, misalnya. Dia, kan, terkenal banyak duit, otomatis itu citra dia juga. Jaga hubungan sama Pak Stenley juga pastinya harus, kan? Dia, kan, kerja buat beliau. Ngerawat barang, masuk juga—dia diserahin komputer di ruang CCTV, harusnya tanggung jawab besar, kan?"
"Oke, Iris kandidat pertama," simpul PMS lagi, "Luke?"
"Dia, mah, apa yang dijaga; rambut?" cibirku, "Dia, kan, iklan shampo berjalan. Selain itu, nggak ada yang dijaga. Kamar aja kayak kandang ayam ditabrak truk."
"Yang terakhir itu," Cowok Nanas menyahut setelah lama tidak membuka suara, "Gue setuju, sih."
"Kayaknya kalo rambut, agak terlalu sepele, deh. Nggak mungkin Topeng Putih ngasih klu remeh kayak gitu," PMS berkata.
"Ya bisa aja, kan," Cowok Nanas menyanggah, "Biar kita mikirnya kejauhan."
PMS melirik Nanas dengan aneh. "Ya, bisa aja. Tapi, melihat dari jawaban klu terakhir, kayaknya serius-serius aja, deh."
"Keep aja," Nanas bersikukuh, "Siapa tahu, kan."
PMS akhirnya mengurungkan niat untuk mencoret nama Luke dari daftar.
"Gwen menurut gue jaga reputasi, sih," Monster Andrew melanjutkan diskusi, "Dia bertingkah begitu—sok tough dan memusuhi semua orang gitu—apa, sih, tujuannya, kalo nggak biar orang-orang takut sama dia?"
Wow. Si Monster satu ini nggak ngaca, ya?
Aku bisa merasakan Nanas menegang di sampingku. Wajahnya tiba-tiba berubah serius, dan rahangnya dikeraskan. Dia ikutan PMS atau gimana, sih? Dasar aneh. Nanas, ya, nanas aja. Nggak usah pake PMS segala; kan, aku jadi bingung, manggilnya. "Gue rasa nggak begitu kasusnya," katanya lemah.
Si Monster mengangkat sebelah alis. "Oh, ya? Gue rasa begitu kasusnya, sama kayak lo yang ngejaga citra lo sebagai fotografer angkatan dengan ngerawat kamera dan lensa-lensa lo. The point is, menurut gue, baik lo maupun Gwen, dua-duanya bisa jadi jawabannya, soalnya lo berdua ada sesuatu yang dijaga."
"Gue setuju," Bryan—aku sebut nama aslinya saja, lah, daripada bingung, soalnya semua orang kayaknya ikutan PMS—berkata, "Gue juga merasa kalian berdua menjaga sesuatu. Terutama lo, Josh."
Joshua menatap Bryan sejenak, lalu menghela napas panjang. "Ya udah, deh," ujarnya pasrah, "Gitu aja. Jadi, empat kandidat?"
Bryan mengangguk. "Di antara empat kandidat ini, kita pikirin sendiri-sendiri dulu lebih lanjut, jawabannya yang mana. Nanti, jam sebelas malem, kita kumpul dan diskusiin lagi."
Semua orang mengangguk setuju, kemudian mulai beranjak berdiri. Dalam hati, aku lega sekali. Hari ini, rasanya otakku yang sakti dipakai melebihi batas sampai-sampai kepalaku pusing. Tambahan lagi, akhir-akhir ini, aku nggak sempat tidur siang. Aku akan memanjakan diri dan tidur siang sebentar setelah ini untuk mendinginkan otak.
KAMU SEDANG MEMBACA
[COMPLETED] Curse of the Suicide Game
Gizem / Gerilim[WARNING: Mengandung kata-kata umpatan dan adegan kekerasan yang kurang sesuai untuk anak-anak] Sosok psikopat di balik topeng putih yang menjadi momok siswa-siswi masih berkeliaran. Namun, Tim detektif amatir IMS (Infinite Mystery Seeker), yang ber...