29. Alice

47 12 0
                                    

Sepertinya ada suatu hal yang mengganggu benak Bryan sejak kemarin malam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sepertinya ada suatu hal yang mengganggu benak Bryan sejak kemarin malam.

Entah kenapa, aku merasa ia tidak begitu fokus pada penyelidikan. Ditambah lagi, kebiasaan barunya yang suka melamun membuatnya tampak jadi lebih menyedihkan. Apa ia kepikiran soal tindakan Andrew kemarin seperti yang masih kulakukan? Atau ia merasa bersalah karena sudah salah menjawab? Tapi, itu, kan, bukan sepenuhnya salahnya.

"Bry, you okay?" tanyaku dengan suara rendah sambil menggeser tempat duduk agar sedikit lebih dekat dengannya.

"Nah, I'm not." sahutnya dalam bisikan sambil mengusap dahinya frustrasi.

"What's wrong?" tanyaku.

"Joshua. Gue berantem sama dia tadi. Dan rasanya ini pertama kalinya kita berantem sebesar ini. Biasanya, entah gue atau dia selalu ngalah, tapi kali ini... Nggak ada dari kita yang bisa menyerah." jelas Bryan.

"Oh, soal dugaan Joshua kalo... Lo-Tahu-Siapa ada dua?" terkaku.

"Lo juga mikir itu aneh?" tanya Bryan setengah terkejut. Bahkan, ia sampai memalingkan wajah ke arahku.

"Gue merasa ada yang salah sama perkataan Joshua juga, sih, kemarin. Tapi, gue nggak yakin, dan gue kira cuma perasaan gue aja. Tapi, soal sepatu Joshua yang kena tanah itu..." aku menggantungkan kalimat di udara, sedikit ragu mengutarakan pendapatku karena takut membuat keadaan semakin runyam. Apa sebaiknya kusimpan sendiri saja...

Tidak. Aku harus mengatakannya.

"Menurut lo, nih, Bry, mungkin, nggak, sih, ternyata dia itu Lo-Tahu-Siapa? Bukannya mau nuduh, sih. Waktu penangkapan dulu, dia nggak ada di sana, waktu SMS pertama dia—"

"Menurut gue itu nggak mungkin, sih." potong Bryan langsung. "Gue kenal Joshua; orangnya bener-bener lurus. Bahkan, waktu kecil, katanya dia di-bully sama anak-anak cewek yang sebenernya lebih lemah dari dia, dan dia nggak ngelawan."

"Oh..." sahutku sambil manggut-manggut, merasa agak bersalah sudah menyinggung topik ini.

"Dia bahkan dipukulin sampe bonyok dan tetap bersikeras kalo mukul cewek itu nggak boleh. Bego, sih. Tapi emang gitu orangnya, lurus banget. Nggak mungkin dia mau dijadiin pembunuh berdarah dingin, entah apa pun bayarannya." jelas Bryan, terdengar bangga.

"Trus, kalo gitu, kenapa lo masih kepo soal rahasianya? Bukannya apapun itu, pasti itu baik?" tanyaku.

"Iya, justru itu. Siapa tahu dia nemu sesuatu yang bisa membantu. Siapa tahu dia bener-bener nemu sesuatu yang vital dari Lo-Tahu-Siapa, dan bisa menghentikan permainan gila ini. Nggak butuh korban lagi, Lice." jelasnya.

"Iya juga, sih. Tapi menurut lo, kalau Joshua nggak ngebolehin kita tahu... mungkin emang sebenernya itu sesuatu yang rahasia, nggak, sih?" tanyaku.

"Kayaknya gitu. Tapi, rahasia apa yang bahkan gue selaku sahabatnya selama delapan tahun nggak boleh tahu?" cibir Bryan, kekecewaan sedikit terpancar di kedua matanya.

"Yang mau ngobrol boleh keluar." ancam Pak Tanto sambil melirik ke arah kami berdua.

Aku langsung terkesiap dan memaksakan seulas senyum pada guru terseram itu sebelum menutupi wajahku dengan buku paket di atas meja. Sumpah, guru itu benar-benar mengerikan. Auranya sudah sebelas dua belas dengan Gwen kalau melotot.

***

"Jawaban. Kita butuh mendaftar jawaban yang udah kita kumpulin." kata Bryan memulai pertemuan sepulang sekolah kami di dalam kamarku.

Aku mengeluarkan secarik kertas dan sebuah pena dari ransel untuk kuberikan padanya.

"Jadi, kandidat pertama, Iris Emmanuel, karena dia selalu kerja di dalem ruang CCTV gelap, ada selalu mengintai dari balik CCTV, tapi walaupun gitu, kita merasa dia nggak ngawasin." umum Bryan sambil menuliskan penjelasannya.

"Jeffrey! Dia misterius, kayak hantu." sahut Sam.

"Oke, Jeffrey. Lanjut?" Bryan menuliskan nama Jeffrey dalam catatannya. "Just in case, gue nulis Rosa, Sam, dan lo, Josh." Bryan berkata lagi, langsung menuliskan nama mereka dan penjelasannya sendiri tanpa menunggu persetujuan kami.

"Olivia; dia wakil ketua OSIS, tapi gara-gara Max yang kerjanya terlalu bagus, dia jadi kayak nggak ada. Max nggak pernah absen dan selalu hadir di rapat, jadi Olivia cuma jadi pajangan aja." tambah Joshua.

"Luke." sahut Andrew. "Wakil lo yang nggak guna juga, soalnya lo ngurusin semuanya sendiri."

"Heh, Luke ada, tau, dan kerjanya bagus sebagai wakil gue." bantah Bryan.

"Menurut gue... Luke bisa jadi nominasi, sih. Sorry to say, walaupun lo menganggap Luke ada dan berguna, bagi kami orang-orang di luar tim, yang terkenal ya lo aja, Luke-nya nggak." tambah Rosaline.

"Fine, Luke, then. Kenapa nggak sekalian kita catet semua wakil-wakil di sini? Pak Joseph sekalian? Gara-gara Pak Stenley ngelarang ini-itu jadi nggak kerja." sindir Bryan tampak sedikit kesal dengan perkataan Rosaline.

"Pak Joseph kan bukan siswa." koreksi Rosaline, sepertinya tidak paham kalau Bryan sebenarnya tidak sungguh-sungguh ingin menominasikan Pak Joseph ke dalam catatannya.

"Kalo semua wakil, sih, Sally nggak bisa kayaknya." sahut Joshua. "Dia sama April, ketuanya, udah kayak sepaket. Sama-sama... eh, jauh dari bayang-bayang."

"Gwen?" usulku, tidak mau ketinggalan diskusi. Satu kata itu membuat seluruh pasang mata langsung tertuju ke arahku. Aku buru-buru menambahkan penjelasan, "Gwen, kan, suka ngilang-ngilang, kerjanya diem-diem, dan jarang ikut ngumpul—seakan dia nggak ada di tim ini. Padahal, dia banyak membantu kita juga."

"Dan kita kembali ke dugaan bahwa korbannya salah satu dari kita. Sekarang, bahkan ada empat nominasi, setengah sendiri dari jumlah kita." sahut Andrew. Dua detik kemudian, ia menambahkan, "Tapi omongan lo bener juga sih, Lice. Good job."

Sejak kapan dia memuji orang lain seperti itu? Dan sejak kapan dia jadi labil?

"Oke, dan sekarang kita punya list panjang untuk ditelaah lebih lanjut." kata Bryan sambil menunjukkan daftar panjang di tangannya, membuat kami semua langsung menghela napas.

Sebelum sempat bahkan melihat kembali daftar nama di catatan Bryan, tiba-tiba, ponsel kami semua bergetar lagi. Belajar dari pengalaman, aku yakin, itu pasti klu kedua dari Topeng Putih. Maka, aku segera mengeluarkan ponsel dan membaca pesan baru yang masuk.

'Tanpa lelah, Sang Korban merawatnya. Sebab, hal itulah, lekat dengan citranya.'

Aku bisa melihat, satu-per-satu, wajah semua orang mulai berkerut bingung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku bisa melihat, satu-per-satu, wajah semua orang mulai berkerut bingung.

"Ngomong apa, sih?" Andrew bergumam kesal.

Bryan hanya menunduk, menatap list yang sudah ditulisnya, kemudian membuang napas kasar. Harus mulai dari mana kita?

[COMPLETED] Curse of the Suicide GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang