Kami berdiam dalam ruangan selama lima belas menit tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tidak ada dari kami yang mencoba membuka pembicaraan, dan kedua cowok itu sama-sama memalingkan wajah dari satu sama lain. Aku pasti akan merasa sangat canggung kalau saja sudah tidak terbayang kejadian barusan.
Sayangnya, aku masih tidak bisa melupakan sensasi itu.
Ketukan pintu Rosaline lah yang akhirnya membuatku bisa membuka sebuah topik baru. "Hai, Sa. Gimana, lo tadi ngapain aja?" tanyaku pada Rosaline sambil memersilakannya masuk.
"Nggak ngapa-ngapain, sih, beres-beres kamar sama rebahan. Udah lama nggak rebahan, enak banget rasanya." sahutnya sambil duduk di atas kasurku.
"Iya, sama, gue juga." sahutku sambil duduk di sampingnya.
Joshua datang lima menit setelahnya, dan mengatakan bahwa Sam ketiduran. Ia sudah mencoba menelepon bahkan menggedor pintu kamarnya hingga hampir jebol, tapi anak itu tetap tidak kunjung tersadar dari hibernasi panjangnya.
"Nggak tahu, deh, tuh anak kesurupan apa. Bisa tidur siang hampir sembilan jam." sahut Joshua sambil menggelengkan kepalanya. "Mending kita tinggalin aja, deh. Dia kalo diskusi juga nggak berkontribusi. Malah bikin lama."
Tanpa diduga, Bryan, yang seharusnya memimpin diskusi, malah diam seribu bahasa. Tatapannya lurus ke depan dan kosong, entah sedang melamunkan apa.
"Ya udah, gue aja yang mulai." Joshua mengambil alih untuk pertama kalinya, sambil meraih daftar yang telah kami buat tadi siang dari atas mejaku. "Oke, anak-anak, dengerin Pak Guru, ya. Jadi, kandidat kita ada Iris, Luke, saya sendiri, dan... Gwen," selorohnya. Lalu, ia melipat kertas di tangannya dan kembali memasang raut serius seperti biasa. "Oke, serius. Menurut kalian, dari empat kandidat ini, siapa yang paling cocok sama klunya?"
"Gue rasa Gwen agak aneh, sih." sahut Rosaline, yang sepertinya barusan tersenyum geli—atau malu-malu?—seperti mendapatkan pencerahan dari istirahat singkat yang kami lakukan. "Soalnya sama kayak kejadian pas Andrew, Topeng Putih nangkep Gwen agak mustahil, nggak, sih?"
"Bukannya nggak mungkin." sahut Joshua. "Tapi, jujur gue nggak melihat alesan namanya bahkan ada di list, sih. Menjaga reputasi... justru, dia yang paling jauh dari kata 'menjaga reputasi', nggak, sih? Nama gue, juga. Gue nggak merasa menjaga apa-apa yang berkaitan sama citra gue, jujur."
"Lo lupa kalo lo punya rahasia yang lo jaga ketat itu?" sahut Bryan sewot.
Joshua menghela napas panjang. "Rahasia apa? Everyone has their own secrets. Kalo lo mikir berdasarkan konteks itu, jawabannya bisa semua orang, dong. Olivia, gitu, misalnya, pasti punya rahasia juga."
"Kayaknya lebih masuk di elo, deh. Sejauh gue kenal Olivia, dia nggak pernah sampe bohong buat nutupin—"
"Oke, jadi kita coret aja, nih, Joshua sama Gwen?" potongku buru-buru sebelum keadaan semakin bertambah runyam. Situasi ini mengingatkanku akan pertengkaran Bryan and Andrew yang terjadi hampir setiap kali kami berkumpul dulu. Hanya saja, sekarang, yang bersitegang adalah Bryan dan Joshua, yang, kalau dipikir-pikir, agak menyedihkan, mengingat mereka tadinya bersahabat sangat baik.
"Bentar, gue rasa terlalu singkat kalo alesannya nyoret gitu." sahut Bryan ngotot. "Kita abaikan rahasia yang disimpen Joshua. Dia masih punya kamera yang dirawat banget kayak anak sendiri."
"Iya, sih. Kalo gitu, Gwen, deh—dia ada barang atau apa gitu buat dijaga, nggak?" tanyaku, membuat semua orang diam seribu bahasa.
"So?" desak Joshua sambil tersenyum lebar dan mencoret sesuatu dari kertas tersebut. "Kita coret Gwen, ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
[COMPLETED] Curse of the Suicide Game
Mystery / Thriller[WARNING: Mengandung kata-kata umpatan dan adegan kekerasan yang kurang sesuai untuk anak-anak] Sosok psikopat di balik topeng putih yang menjadi momok siswa-siswi masih berkeliaran. Namun, Tim detektif amatir IMS (Infinite Mystery Seeker), yang ber...