[65]

1.3K 151 57
                                    

"Kata Tuhan, mencintaimu adalah sebuah kesalahan."

**

"Kamu... bukan kamu kan- pembunuh... David?"

Hening. Ntah mengapa nyanyian hujan seketika mendayu pelan. Tak lagi sederas tadi. Seakan ada kejanggalan, hawa di sekitar Safina membeku tanpa aba. Safina sendiri tak tahu mengapa pertanyaan itu bisa terlontar begitu saja dari kedua bibirnya meski dengan nada bergetar, menciut ketakutan.

Eland masih memeluk Safina. Dan jelas Safina tahu itu hal yang salah.

"Eland... lepas."

Bukannya melepas, Eland justru kian mengeratkan pelukan. Tanpa sangka, Eland berbisik begitu dingin. Dalam. Dan seakan menikam jantung Safina detik itu juga.

"Kata mereka... orang yang didiagnosa gila, jika melakukan perbuatan mengerikan sekalipun, tak akan berdosa."

Lalu, Eland melepas pelukan. Dibanding pelukan, tadi itu lebih mirip mencekik Safina secara keseluruhan badan. Kedua bola mata tajam Eland menatap Safina dengan tatapan yang sulit diartikan. Sedang Safina syok dengan menahan getar tubuh mati-matian.

Anehnya, Safina justru tidak bisa memalingkan wajah dari tatapan mematikan Eland. Seakan terkunci di dalamnya. Tiba-tiba, Eland tertawa. Awalnya pelan, namun mengeras hingga ia terbahak-bahak memegangi perutnya sendiri. Nampak seperti orang gila.

Lalu, terhenti dalam sepersekian detik.

"Safina... apa aku juga gila dimatamu?"

Safina tercengang.

Eland menggunakan kosa kata aku, bukan gue. Ada yang aneh disini... pikiran Safina terasa acak amduradul. "Jawab Na... apa aku juga gila dimatamu?" Safina tak tahu mengapa kini air mata mengalir begitu saja. Terjatuh di permukaan pipi putih meronanya.

Kedua tangan Safina saling terkepal erat. Ia tak lagi kuat menatap sosok Eland yang begitu misterius sekaligus menakutkan. Eland menyaksikan semua itu dengan tatapan menghangat. Namun juga, terluka. Sangat.

"Safina... kata Tuhan, mencintaimu adalah sebuah kesalahan."

**

Keluarga besar Drew berduka.

Sang putra sulung telah dipeluk semesta dengan cara sangat menggenaskan, siapa hati keluarga yang tak hancur? Gisa menenangkan mamah tercintanya sedari tadi, tepat ketika berita itu sampai kepada keluarga kaya raya ini.

Para polisi sudah mengamankan tkp. Liputan media masih tak menyerah untuk mengumpulkan berbagai data informasi. Mau tak mau Gisa menyewa beberapa pengawal untuk menjaga gerbang sekeliling rumahnya.

Gisa memutuskan untuk pergi sejenak ke dapur, meminum air putih. Tangisan Nadine semakin menggali luka saja dalam hati Gisa. Tak sengaja Gisa melewati sebuah cermin yang terdapat di dekat ruang keluarga.

Gisa tatap dalam dirinya sendiri yang terbalutkan dalam jilbab hitam kelam.

Setetes air mata Gisa mengalir.

Namun, disaat bersamaan, anehnya ia justru tersenyum.

Senyum begitu tipis yang hanya disadari oleh dirinya sendiri.

Prang!!!

Tanpa sangka terdengar pecahan gelas di depan sana. Gisa bergegas berlari kecil kembali ke kamar sang mamah, Nadine. Nadine rupanya terjatuh pingsan, itulah penyebab gelas terjatuh dari genggaman tangan Nadine sehingga pecah berkeping-keping.

Gisa segera membereskan pecahan beling itu dengan kedua tangan kosongnya. Sebuah beling menancap begitu saja mengenai ujung jari kelingking kanan Gisa. Setetes darah mengucuri permukaan putih lantai.

Gisa tak merasa sakit.

Luka kecil itu toh sama sekali tak ada efeknya dibanding luka yang ia pendam selama ini atas penyiksaan Nadine. Oh dendam, mengapa semengerikan ini? Gisa terkekeh pelan. Hujan telah sepenuhnya terhenti.

Gisa bangkit dari posisi jongkok sehabis membereskan pecahan beling tadi. Berdiri menatap Nadine yang terbaring tak sadarkan diri pada permukaan spray biru lautnya dengan tatapan kosong. Dan Gisa sendiri tak tahu mengapa kini ia justru menggenggam pecahan beling. Kuat, kuat... dan, semakin kuat.

Hingga cairan merah merembes deras,

menciptakan genangan darah kental pada permukaan lantai.



TBC

Obsession of SafinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang