[24]

4.9K 546 98
                                    

"Seiring dengan detak jantungku yang melaju, kulihat senyummu, tak lagi seindah dahulu...."

**

Lelaki itu sibuk mencari sesuatu dari setengah jam lalu. Dengan sorot mata setengah panik namun tetap dalam diam. Seakan menyembunyikan deburan ombak yang mengganas diantara tenangnya samudra.

"Ya Allah... dimana?" lirihnya tercekat pada diri sendiri. Dilangkahkan lagi kedua kakinya menuju lemari yang sama. Yang telah tiga kali ia cek dengan hasil serupa. Tak ada. Bukti itu menghilang. Lenyap entah kemana.

Sesaat, ia atur napas. Beri jeda. Berdiri sembari menyandarkan punggung pada lemari. Menutup kedua matanya perlahan. Menenangkan degup jantung yang melaju panik karena, satu-satunya bukti penting rahasia itu telah hilang, bagai asap.

"Bukankah ini saat yang tepat?"

Ia berbicara. Lagi. Pada dirinya sendiri. Bermain teka-teki. Tapi tak kunjung menemukan arti. Lalu, di detik berikutnya, terdengar dering handphone dari dalam saku celananya. Ia merogoh dan segera mengangkat panggilan tersebut tanpa melihat nama yang tertera pada layar.

Ia cukup lelah bahkan untuk sekedar membuka kembali pejaman pada matanya. Namun, apa yang diucapkan dari sang penelepon di seberang sana, mampu menormalkan kembali fungsi-fungsi pada organ tubuhnya yang sempat melemah.

"Selamat malam, apa ini dengan saudara Alfad? Jika benar, bisakah anda menuju rumah sakit sekarang? Calon istri anda tengah dalam keadaan krisis. Terimakasih."

Bagaikan tersambar petir, lelaki yang kini tubuhnya tegak kokoh sehabis layu bagaikan padi kering tadi, yang tak lain adalah Alfad, kedua bola matanya membulat sempurna. Kini sejuta pertanyaan mengendap di kepalanya dalam hitungan detik. Saking kagetnya, Alfad tak bisa berkata-kata sedikitpun.

Calon istri?

Hah! Yang benar saja!

Siapa wanita yang dikatakan tengah krisis sekarang dan mengaku sebagai calon istrinya? Alfad ingin menyahut tapi kerongkongannya terasa seperti hilang fungsi. Kering. Hingga penelepon yang Alfad yakini adalah seorang dokter itu, memberitahukan nomor kamar dan ruangan apakah sang pasien.

Alfad tahu ia hampir gila karena kehilangan bukti bahwa wanita yang dicintainya adalah saudari kandungnya. Safina. Tapi Alfad yakin ia tak segila itu untuk membayangkan bahwa ia telah memiliki calon istri. Sungguh! Dan, Alfad pun tak mengerti mengapa kini kedua kakinya berjalan menuju keluar rumah dengan tergesa-gesa.

Seperti seseorang tengah membutuhkan kehadirannya. Sangat. Tak peduli apakah sang dokter salah nomor atau apa, Alfad rasa ia memang harus pergi ke rumah sakit. Sekarang.

Meninggalkan jejak kaki yang diliputi sejuta perasaan buram.

**

Hening.

Dan, dingin.

Dinginnya angin malam yang menari dari ujung hutan sekalipun, tak dapat mengalahkan dinginnya kedua telapak tangan gadis berhijab yang kedua matanya sayu menahan kantuk itu. Safina.

Obsession of SafinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang