"Yang tersenyum... belum tentu bahagia."
**
"Ayolah, sob. Ikutan! Setau gue yang namanya orang kalo udah berhasil nerbitin novel dia bakal kecanduan terus buat nulis. Dan lo? Gue yakin lo masih nulis diary--" Eland melemparkan tatapan tajam menusuk pada Kiky detik itu juga. Membuat ucapan Kiky terhenti. Lalu Kiky menyengir.
"Gue gak mau.Tuli?"
Untung saja Kiky sahabat Eland. Jadi dia sudah kebal dengan ucapan Eland mana saja yang dapat melukai hati. "Lo yakin gak nyesel? Dikelas kita semua ngandelin lo, Land. David aja yang dari kelas sebelah udah ikutan, lho." Kiky tak menyerah untuk membujuk Eland. Masalahnya sayang sekali Eland menguburkan bakatnya tersebut semenjak lulus SMP.
Untuk alasan mengapa, tak ada yang tahu.
"David sahabat kita dari SMP. Kemarin-kemarin gue udah banyak reunian sama dia soal masa lalu. Dia 'kan baru-baru aja ini pindah ke sekolah kita. Lo gak mau ikutan Land? Bisa ketemu David terus, lho." Eland diam tak bergeming dengan wajah datarnya. Lalu ia beranjak dari kursi dan meninggalkan Kiky di kelas begitu saja.
"Ye, kambing. Untung lo sahabat gue, kalo gak, gue jingkang lo." gerutu Kiky komat-kamit menahan dongkol. Seperti biasa. Ketika berbicara dengan Eland, memang harus mempersiapkan mental begitu matang. Kalau tidak, bisa-bisa dibuat makan paku saking kesalnya.
Eland menarik sebuah kertas dari sakunya. Kertas nomor telepon beserta sosmed dari eskul tersebut. Jujur saja hati Eland sedikit tergelitik. Tapi ia sudah bertekad tak akan pernah menyentuh dunia imajinasi dalam aksara. Semenjak saat itu... tak akan pernah. Eland meremas kertas tersebut. Lalu membuangnya di tong sampah depan kelas.
Tepat saat itu pula, sosok gadis berhijab dengan kedua bola mata peri yang mengusiknya beberapa waktu kembali hadir. Safina, Eland membaca name tag di seragam gadis tersebut. "Assalamu'alaikum, jadi gimana? Kamu udah fix bakal ikut?" Eland diam-diam menjawab salam Safina dalam hati. Hanya dalam hati.
"Gak."
Lalu Eland melewati tubuh Safina bagai angin lalu. "Tunggu! Kenapa gak? Bakat kamu bakal terus terasah, dan sekolah kita bakal bangga begitu tau ternyata ada penulis berbakat di sekolah ini." Safina mengejar langkah Eland dan Eland tetap tak menggubris. Safina belum menyerah. "Satu-satunya yang belum kumpul data nama kelas kamu aja, Eland." Detik itu pula, langkah kaki Eland terhenti. Dikarenakan gadis itu menyebut namanya.
"Jangan sok akrab."
Safina tersenyum. "Kamu mau? Kalau mau ayok ikut aku sekarang. Kita registrasi dulu di ruang Blue Writer." Eland tak mengerti mengapa gadis ini begitu kekeh menawarkan padanya. Eland menunduk sedikit demi mensejajarkan wajahnya dengan wajah Safina. Membuat Safina beristighfar dan refleks memundurkan wajah.
"Di kelas itu... bukan cuma gue." Lebih mirip bisikan, namun mampu sesaat membuat Safina merinding. Dan Eland kembali mengangkat wajahnya pada posisi normal. "Jangan ganggu gue." Eland menatap Safina dingin. Lalu kembali melangkahkan kaki dengan kedua tangan terselip pada saku celana.
"Dia kok dingin banget, ya?" tanya Safina bingung pada dirinya sendiri.
Saat itu pula handphone Safina yang terletak di saku berbunyi. Safina segera mengangkatnya, dari kak Salsa. "Assalamualaikum, kenapa kak?" Terdengar keributan di seberang sana. Entah mengapa firasat Safina terasa tidak enak tiba-tiba. "Waalaikkumsalam, Na! Cepat kesini, kita semua mau ke rumah sakit. David barusan ketabrak mobil!"
"Innalillah!"
TBC

KAMU SEDANG MEMBACA
Obsession of Safina
RomanceRomance - Teenfiction - Religi [TELAH DITERBITKAN] Akankah obsesiku membawaku untuk mencintai Tuhanmu dan Tuhanku? Aku cemburu kepada-Nya. Karena cintamu, sepenuhnya tertuju untuk-Nya. Aku ingin, merasakan cinta itu. Mendambamu, sedemikian dalam. Ma...