[54]

2.1K 266 98
                                    

"Apa aku dapat hidup di dalam hatimu?"

**

Hening. Dingin. Waktu membeku.

Safina mengerjapkan mata beberapa kali. Dan Eland mengunci netra peri itu baik-baik dalam setiap detail memorinya. "Ma- maksud kamu?" cicit Safina menyapu atmosfer yang kini terasa hangat di setiap dada mereka, dalam diam. Eland tersenyum miring, menatap Safina lembut.
"Lo, bolot." Lagi, Safina menatap Eland dengan bola mata membesar.

"Ayo, ada satu hal lagi yang mau gue tunjukkin."

"Apa?"

"Lo pasti bakal seneng. Gue jamin."

Eland bangkit dari posisi duduknya, mengulurkan sebuah tangan. Membuat degup jantung Safina berdebar dua kali lipat. Safina menatap telapak tangan yang terulur padanya itu dengan sorot meragu sekaligus gugup. "Jangan jari-jemari lo. Lengan lo." pinta Eland dengan sorot mata dingin yang kini nampak menghangat. Safina mengangguk pelan, menyodorkan lengan kanannya yang segera disambut genggaman nyaman Eland.

Keduanya berjalan dalam sunyi.

Sama-sama terdiam dengan katup bibir merapat.

Tapi mereka jelas tahu, hati mereka seakan tak ada lagi sekat.

Ada sesuatu, tak terdefinisi.

"Eland." Langit malam menjadi saksi bisu saat Safina menghentikan langkahnya tiba-tiba diantara gelap pepohonan rimbun. Eland otomatis ikut terhenti. "Hm?" Menoleh ke arah Safina dengan sirat mata asing, sesuatu yang pertama kali Safina dapati dari sosok dingin Eland. "Aku, takut." Safina menyengir. Merasa nampak konyol. Tapi Safina benar-benar tak berani ketika melihat beberapa langkah lagi mereka akan memasuki kawasan hutan yang nampak lebih gelap dari jalan sebelumnya.

Eland menyeringai dalam.

"Tenang. Ada gue."

"Gak bakal ada... hantu?"

"Lo bilang tadi hantunya gue 'kan?"

Safina manyun.

Elamd terkekeh. Hatinya menghangat belgelora, diam-diam.

"Ayo, kalo lo takut, pejamin aja mata. Gue gandeng lengan lo, tinggal ikuti jejak gue dan semuanya bakal baik-baik aja." Dan Safina tak tahu mengapa kini bibirnya melengkungkan sebuah senyuman manis. "Jadi, aku tutup mata aja, ya?" Eland mengangguk, "iya, bawel." Safina lagi-lagi manyun dan Eland menikmati semua percakapan sederhana konyol ini.

Safina menarik napas pelan sebelum akhirnya benar-benar memejamkan kedua mata. Eland tersenyum simpul melihatnya. Dengan pasti dan pelan, Eland pun membawa Safina yang ia genggam lengan terbalutkan kainnya. Gesekan sandal mereka, bergeremisik diantara dedaunan layu pada permukaan tanah. Nyanyian jangkrik terdengar dalam gelap. Semilir angin mendayu-dayu tanpa jeda.

"Lo sama kek gue." Eland memecah keheningan dengan suara basah seraknya.

"Hm? Maksud kamu?" tanya Safina bingung masih dengan memejamkan mata.

Safina takut sebenarnya dengan memejamkan mata, tapi ia sungguh akan lebih takut jika melihat hal-hal aneh dalam hutan gelap ini. Eland diam. Mendadak bisu. Lagi. Dan Safina sudah sangat hafal dengan karakter tak tertebak Eland tersebut. Tanpa Safina ketahui, Eland menyimpan lekat-lekat dalam memorinya, setiap detik tapak mereka yang berjalan berdua di bawah langit malam ini. Eland menatap rembulan. Semesta tersenyum.

Obsession of SafinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang