"Ini bukan tentang cinta. Ini tentang aku dan kamu yang melebur menjadi kata kita. Bedakan itu. Jika cinta, keduanya memiliki rasa. Tapi aku tidak bodoh, bahwa diantara kita, hanya akulah, yang memiliki kata rasa."
**
David hanya bertahan selama dua jam dengan Celia. David merasa jengah.
Lucu saja. Dulunya, mereka sedekat nadi namun sekarang, sejauh langit dan bumi.
David memutuskan untuk meninggalkan Celia di bioskop seorang diri. Lagipula, Celia ingin sekalian berbelanja di mall. Dan David dengan sangat menolak untuk menemaninya. David tak peduli jika ia akan menaiki bis kota, karena mobil yang dikendarainya tadi adalah mobil milik Celia. Dan David, tidak ingin diantar.
Ia telah merencanakan sesuatu.
Dengan teramat matang.
**
Safina baru saja selesai dari jadwal rutinnya jika setiap kali berada di rumah dan tak ada tugas sekolah, yaitu,
membaca sebuah novel hingga habis.
Tak peduli seberapa lama, Safina harus menyelaminya. Ia tidak terpaksa. Ia suka. Kecuali, ketika waktu sholat tiba maka, Safina akan menunda kegiatan favoritnya itu dan, melanjutkannya usai beribadah pada Sang Maha Cinta. Safina meregangkan otot-otot lengannya. Lalu,
terdengar ketukan pintu. Pintu luar. Pintu rumahnya.
Safina menajamkan telinga. Waspada. Ia sedang sendiri di rumah. Umi dan ayahnya pergi berbelanja ke pasar setengah jam lalu dan adiknya, pergi mengaji di Rumah Tahfidz yang berdekatan dengan rumah tantenya. Kemungkinan besar baru pulang sekitar jam enam sore.
Dan sekarang, jam baru menunjukkan pukul empat ketika Safina melirik benda berbentuk bulat itu di dinding kamarnya.
Ketukan pada pintu, kembali terdengar. Baiklah, sepertinya penting. Mungkin Safina memang harus membukakan pintu. Bisa jadi itu teman umi atau ayahnya. Safina pun berjalan pelan tanpa suara dan membukakan pintu,
menampilkan seseorang yang tak pernah sekalipun Safina duga.
Akan menemuinya.
Membuat darah dalam tubuh Safina melaju ke sebuah perasaan bernama takut. Tapi ntah takut untuk apa. Safina heran, namun ia tetap menampilkan senyuman sopannya.
"Assalamualaikkum, Safina."
Safina sedetik terdiam.
Lalu, bibir pucat peach-nya yang tak teroles apapun, berucap,
"Waalaikkumsalam, David. Ada apa?"
**
"Menurut Bapak... apa saya perlu mengadakan referensi untuk new project lukisan milik saya? Ah, saya sangat gugup." Terdengar lagu 'Cinta Luar Biasa' yang mengalun dari dalam kafe mini tersebut, seiring dengan kehangatan yang menjalar di dalam dada Gisa. Sedari tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Obsession of Safina
RomanceRomance - Teenfiction - Religi [TELAH DITERBITKAN] Akankah obsesiku membawaku untuk mencintai Tuhanmu dan Tuhanku? Aku cemburu kepada-Nya. Karena cintamu, sepenuhnya tertuju untuk-Nya. Aku ingin, merasakan cinta itu. Mendambamu, sedemikian dalam. Ma...