[6]

8.4K 780 33
                                    

"I dont care anymore."

**

"Lo, Safina 'kan?"

"Ngapain lo?" Itu suara Dira yang ntah sejak kapan sudah berada di sisi Safina dari arah kantin. Safina dibuat terkaget-kaget oleh ulah dua manusia tersebut secara tiba-tiba. Dira yang langsung sewot karena ia amat mengenal sang lelaki yang kini berdiri tepat di depan mereka.

Kiky Anggara Wijaya.

Jangan tanya seberapa bencinya Dira pada lelaki keturunan Jawa-Singapura itu. Setiap kali melihat Kiky, Dira rasanya ingin menceburkannya hingga ke samudra hindia. Kiky nampak mengatur napasnya cepat dan tanpa sangka hendak menarik lengan kanan Safina.

"Lo mau ngapain sih!? Nggak usah modus, dasar jerawat cicak!" Dira bahkan nekat memukuli Kiky dengan buku kimia berlapis amat tebal yang berada di kedua tangannya. "Apaan sih lo? Gue ada urusan sama Safina. Bukan lo, gudeg sapi," sungut Kiky sambil meringis akibat pukulan Dira yang belum juga berhenti.

Masalah apalagi, nih? Pikir Safina tak mengerti.

Safina bergegas menyuruh Dira berhenti dan menenangkan suasana.

"Ra, udah, udah. Dan kamu? Maaf, sebelumnya ada apa, ya?" Safina bertanya sopan. Walau sebenarnya ia juga kesal akibat kedatangan Kiky yang mengundang keributan. Kiky memasukkan kedua telapak tangannya ke dalam saku. Berdehem untuk menetralkan rasa malunya sebelum berucap.

"Bisa kita ngomong diluar? Ini penting."

Safina melirik Dira. Dan Dira membalasnya dengan tatapan ragu, kesal, tapi akhirnya mengangguk. "Sampai nggak penting, gue tarik jakun lo," ancam Dira sinis. Kiky bergidik sesaat mendengarnya. Bergegas, Safina mengikuti langkah Kiky.

Begitu tiba di depan area taman sekolah, Kiky memberhentikan langkah kakinya. Safina menunggu ucapan Kiky dengan was-was. Kiky sesaat mengamati postur tubuh Safina. Safina tahu itu. Jelas terlihat dari tatapan mata dan gaya tubuh Kiky.

"Ada apa, ya?" Safina bertanya sedikit risih. Kiky menatap Safina remeh sesaat.

"Nggak nyangka gue... model cewek kek lo yang berhasil buat David kek orang nggak waras." Kiky berucap pelan.

Bagai luka yang disiram air panas.

Apa-apaan pria ini, heh!?

Kedua alis Safina mengernyit. Tatapannya perlahan berubah dingin namun tetap sopan. Ujung bibir Kiky berdenyut. Menahan tawa. "Sori, sori. Gue nggak maksud ngatain lo." Safina tersenyum tipis. Tentu saja. Dengan seragam putih abu-abunya yang sederhana namun berkesan karismatik, ia nampak indah bagai bidadari surga yang terjaga.

Safina pun menyahut, "jangan membuang waktu, tolong. Ada apa? Sekali lagi saya bertanya dan anda tidak menjawab to the point, saya akan pergi."

Bahaya.

Bahaya jika seorang Safina sudah mengenakan kosa kata saya-anda. Safina sebenarnya memiliki jiwa kedewasaan yang bisa dikatakan tinggi.

"Ups! Selo. Ok, gue bakal ngasih tau maksud gue manggil lo. Jadi, David di rumah sakit sekarang." Seketika ucapan Innalillah kembali meluncur dari kedua bibir pink pucat Safina. Namun, Safina sudah tahu bukan berita tersebut?

"Kenapa bisa?" Apa salahnya Safina langsung bertanya saja pada Kiky yang beridentitas sahabat David? "Kenapa bisa? Lo mau jawaban jujur atau boong?" Menyebalkan. Safina sekarang sangat setuju dengan pendapat Dira bahwa Kiky, adalah lelaki paling menyebalkan yang akan kau temui.

Sebelumnya, Safina hanya mengenal Kiky lewat cerita-cerita random Dira, namun untuk pertama kalinya, hari ini, Safina dapat membuktikan semua fakta dari ratusan cerita Dira. Mengenai Kiky, tentu saja.

"Jujur," jawab Safina singkat namun masih berusaha tersenyum.

"Well, pilihan yang bagus. Dia kecelakaan karena dia gak sengaja ngeliat cewek yang dia suka lagi sama cowok lain. Goblok? Yaiyalah, titisan gue. Kiky Anggara Wijaya." Kiky tersenyum bangga sembari menepuk-nepuk dada bidangnya. Safin speechlees.

"Siapa? Seriusan karena hal seperti itu?" tanya Safina belum mengerti sepenuhnya. Kiky mendengus sebal.
"Nggak usah formal amet deh. Saya-anda segala. Kita bukan rekan kerja, lho." Safina diam saja. Jika menggunakan kosa kata gue-lo sebenarnya mudah bagi Safina, hanya saja ia tak terlalu menyukai kosa kata tersebut. Ia merasa bukan menjadi dirinya sendiri.

"Tanyain sama Davidnya aja langsung deh nanti. Ok? Ok ajalah. Yuk, ikut gue sekarang." Kiky memberi kode pada Safina untuk menuju parkiran motor. Kiky telah berhasil mendapatkan surat dispen. Safina memberitahu pada kak Salsa di whatsapp bahwa ia telah dipanggil untuk ikut oleh teman David. Untungnya kak Salsa memperbolehkan.

"Skuy, sebelum negara api menyeraaaaang!"

Dan Kiky berlari kecil dengan sebelah tangan mengepal ala superman, menuju parkiran motor SMAN 8 Jakarta. Safina menggeleng-gelengkan kepala kecil.
"Mantan Dira. Mantan Dira yang sangat menyebalkan seperti patrick," sambung Safina menggerutu.

Sebenarnya, dalam situasi apa dia ini sekarang?

**

Lorong putih itu terasa damai.

Beberapa lalu-lalang suster berseragam putih, melewati. Dengan berbagai kesibukan. Matahari semakin meninggi. Menunjukkan kegagahan sinar mentarinya.

Seorang lelaki dengan langkah tegap namun tenang, rambut hitam acak-acakan, dilengkapi jaket hitam bergaya ala hoodie, menuju sebuah ruang inap. Sesampai di ruangan yang dimaksud, lelaki itu membukanya pelan.

Eland Wardana Putra.

Dan ia dapati pemandangan seorang lelaki dengan mata terpejam. Tengah memeluk sebuah kitab suci teramat erat di atas dadanya. Pemandangan luar biasa langka. Eland menutup pintu kamar inap dan mendekati sosok lelaki tersebut dengan telapak tangan dalam saku celananya.

Begitu Eland tepat berdiri di sisi lelaki yang terbaring itu, detik itu pula, kedua mata lelaki itu terbuka. David. Sudut bibir Eland terangkat.

"Tumben megang Qur'an."

Eland tidak bodoh untuk mengenal kitab suci dari agamanya sendiri. Walau bisa dikatakan, sudah lama sekali kedua tangannya tidak menyentuh mukjizat dari Rasulullah itu.

David tertawa pelan. Tatapannya lurus pada dinding. Ntah apa yang dipikirkannya.

"Megang doang gue. Nggak tau baca."

Setelah beberapa detik dalam hening, akhirnya suara serak David terdengar. Eland ikut terbahak. "Tenang. Lo nggak sendiri." David menoleh pada Eland. Sahabatnya yang ia kenal berwatak dingin dan irit bicara. "Iya. Nggak sendiri masuk neraka."

"Sialan lo!" Kali ini, David yang tertawa. Pandangannya jatuh pada Al-Qur'an putih berukuran sedang yang masih ia peluk sekarang.

"Maka dari itu, gue putusin, buat miliki bidadari surga. Buat nyelamatin gue dari neraka," gumam David. Namun Eland mendengarnya teramat jelas.

"Ngomong apa lo? Alay banget."

"Tapi, nggak semudah itu. Gue udah di jurang yang dalam banget soalnya. Butuh waktu panjang buat kembali manjat ke permukaan." David tak peduli umpatan Eland. Ia tetap berbicara,

pada dirinya sendiri. Lebih tepatnya.













TBC

Obsession of SafinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang