[31]

3.5K 432 66
                                    

"Saat semua tidak berjalan semestinya, kita bisa mengangkat tangan untuk menyerah atau mengangkat tangan untuk berdoa. Kuharap kau memilih yang kedua."

-Fiersa Besari-

**

Kepakan sayap burung-burung merpati mengoar bebas, mengangkasa. Saling berdansa berkepak ria. Detik demi detik yang berjalan tenang, syahdunya angin semesta, serta hiruk pikuk kota yang tak luput meski waktu enggan beristirahat. Dedaunan menari terhembus kesibukan duniawi.

Sementara seorang wanita yang baru saja tersadar dari komanya, tengah terduduk lemas bagai kulit tanpa daging. Pandangannya sendu. Lurus tepat ke depan. Ke arah seorang pria yang terduduk dengan karismanya yang tak luput. Lelaki itu tersenyum sedih. Kini, di ruang putih tersebut hanya ada mereka berdua. Ketika anggota lainnya memutuskan pergi keluar untuk memberi privasi pada keduanya.

"Saya, tidak ingin menikah dengan Bap-"

"Alfad. Untuk sekarang, dan seterusnya, tidak perlu memanggil saya dengan embel-embel Bapak. Cukup Alfad saja," potong lelaki itu dengan nada begitu lembut. Senyum secerah mentarinya setia terukir di wajah. Membuat dada Gisa terasa sakit. Benar. Wanita yang kini berusaha melengkungkan senyuman diantara rongga-rongga dadanya yang terasa sesak itu adalah, Gisa.

"Terima kasih, Alfad." Alfad mendekatkan posisi duduknya sembari menatap Gisa dengan tenang. "Apakah Gisa ingin menikah dengan saya?" Syok. Tentu saja Gisa kembali dibuat syok hebat karena kata pernikahan kali ini dikeluarkan langsung oleh seorang Alfad. Oleh lelaki yang ia sukai diam-diam selama ini. Meski Adine ataupun David telah memberitahunya, tapi mendengar kata sakral dari mulut Alfad sendiri membuat Gisa ingin menangis.

Gisa menenangkan dirinya sesaat. Ia hirup dan keluarkan napas berulang kali. Ia pegang dadanya dengan tangan kanan yang terasa tak lagi bertenaga. Lalu, ia jatuhkan Alfad berkeping-berkeping dengan isyarat katanya, "maaf. Tapi saya tidak ingin dinikahi oleh lelaki yang tak mencintai saya." Bola mata Alfad membesar seketika. Wajahnya menunduk dengan gumpalan emosi yang menyerang dirinya dalam hitungan detik.

"Meski saya... mencintai lelaki itu." sambung Gisa pelan, tersenyum pedih. Pandangan Alfad kembali terangkat dan sungguh, tak kuasa ia dapati Gisa dengan bola mata yang berair. "Saya tau, kamu, pasti memiliki wanita lain yang kamu sukai. Tak perlu korbankan hidup dan kebahagiaanmu untuk wanita seperti saya, Alfad. Kamu ada di sini untuk saat ini saja, sungguh, saya sangat bersyukur."

Alfad menggeleng cepat. "Mungkin kamu benar. Tapi saya tidak akan menyesal jika dengan ini, dengan saya menikahi kamu, saya dapat membuat kamu lebih dekat dengan-Nya. Gisa, tolong... kamu harus percaya. Hidup kamu indah lebih dari apa yang kamu bayangkan selama ini. Izinkan...." Napas Alfad serasa tersenggal-senggal. Entah kenapa. Hening sejenak. Kedua mata Alfad terpejam dan dalam pikirannya, muncul sosok Safina yang tersenyum, detik itu. Alfad tersenyum sendu dan pikirannya berlarian.

"Izinkan... saya menjadi imam bagi kamu." tutur Alfad getir akhirnya pada kalimat yang sempat ia gantungkan. Gisa menatap tak percaya pada Alfad dan terkekeh kecil. "Saya memang menyedihkan. Tapi saya tidak butuh belas kasihan. Tolong, jangan merasa bersalah. Saya baik-baik saja. Dan hidup kamu juga akan baik-baik saja tanpa harus menikahi saya, Alfad. Sekali lagi saya ucapkan... terima kasih. Terima kasih banyak." Alfad berdiri dari duduknya saat itu juga.

Kedua tangannya ia selipkan ke dalam saku dan pemandangan Alfad membelakangi dengan punggung tegapnya yang kini Gisa dapati. Demi apapun, ingin sekali, Gisa memeluk sosok lelaki itu dari belakang. Sekarang. Meneriakkan hasrat hatinya yang menggebu-gebu. Betapa Gisa ingin menjadi pendamping hidup dari lelaki murah senyum itu. Betapa Gisa ingin berjalan bergandengan dengannya dalam mahligai suci pernikahan.

Tanpa sadar, air mata Gisa mengalir dalam diam. "Saya, akan lebih merasa bersalah jika membiarkan satu nyawa tak terselamatkan padahal, saya bisa. Saya bisa menyelamatkan nyawa itu." Suara Alfad terdengar serak. Lalu, ia membalikkan badan. Sehingga kini, Alfad dapat melihat dengan jelas air mata Gisa yang bertambah deras. Dan Gisa dapat melihat dengan jelas kesungguhan di kedua bola mata hangat milik Alfad.

Alfad berjalan mendekat dan berbisik sambil tersenyum, "tenanglah. Saya, telah mengikhlaskan apa yang terjadi di dalam hidup saya. Dan saya percaya, rencana Allah selalulah yang teromantis." Alfad menyodorkan sebuah tisu kepada Gisa, "jika ini air mata bahagia, jangan ambil tisu ini." Gisa tertawa tanpa suara. Dan Alfad pun sadar, ketika tak ada gerakan tangan Gisa sedikitpun yang ingin mengambil tisu tersebut, dada Alfad serasa lega dan sesak di saat bersamaan.

"Baiklah. Izinkan saya belajar mencintaimu. Jadi, apakah Gisa ingin menikah dengan saya?" Disaat bersamaan, tak ada sepatah katapun yang terucap dari kedua bibir Gisa. Tapi anggukan kecil yang diselingin dengan senyum manis di pagi Jakarta ini, untuk pertama kalinya, menjadi jawaban bagi Alfad. Bahwa rencana Sang Pencipta, tak 'kan bisa diduga-duga. Alfad tersenyum ikhlas sembari melambungkan lafal Hamdallah.

"Tapi, dengan penyakit yang saya miliki... pasti berat." Suara Gisa yang tercekat terdengar. Membuat Alfad kembali menoleh lembut kepadanya. "Tidak ada yang berat jika kita melibatkan Allah di dalamnya. Gisa kuat. Dan Allah bersama Gisa. Saya juga." Pancaran bola mata Gisa seketika dipenuhi haru biru.

**

"Safina?"

Alfad terkejut setengah mati ketika mendapati bidadari hatinya selama ini, tengah duduk di balkon rumah Alfad dengan wajah terlihat sehabis menangis. Kedua mata yang sembab, Alfad tahu Safina tidak sedang baik-baik saja.

"Assalamualaikkum... Kak Alfad." Suara Safina bergetar. Alfad sadari itu. Alfad jawab salam Safina sambil berjalan mendekatinya. Safina seketika berdiri dan berucap lirih, "di sini, aku minta maaf kalau kehadiranku ngeganggu Kakak. Aku juga minta maaf kalo datang tiba-tiba dengan keadaan berantakan kek gini." Safina hirup napas perlahan dan mengeluarkannya.

"Kak... aku cuma mau mastiin satu hal. Dan tolong jawab dengan jujur. Kakak cuma tinggal jawab ya atau tidak. Dan, aku mau denger langsung hal ini dari mulut Kakak. Bukan mulut siapapun." Safina tahan isak tangisnya yang serasa ingin meledak. Tubuh Alfad terasa kaku. Mulutnya kelu. Jantungnya berdebar keras bak roket. Ia jelas tahu apa yang hendak Safina tanyakan.

"Silahkan." Alfad berucap parau. Senyumnya terukir dengan rasa sakit yang ntah sejak kapan datangnya. "Apa benar Kakak akan menikah?" Suara Safina kini terdengar begitu jernih dan jelas. "Tolong, cukup jawab ya atau tidak." Safina meremas kuat kain bajunya di masing-masing sisi ketika suara Alfad terdengar di udara, "ya."

"Selamat." Safina tersenyum lebar. Menyembunyikan air matanya yang memaksa merembes keluar. "Semoga Kakak bahagia. Semoga pernikahan Kakak sakinah mawa-" kalimat Safina seketika terhenti ketika sosok Alfad memeluknya begitu erat. Sontak kedua bola mata Safina membulat sempurna. "Kak! Kita bukan mahrom!" seru Safina dengan debaran dada yang semakin menjadi.

Namun anehnya, bukan melepas pelukan, Alfad malah semakin erat memeluk tubuh Safina. Membuat air mata Safina tak bisa lagi untuk tidak keluar dari tempatnya. Demi Dzat yang menguasai seluruh angkasa, air mata Safina meledak hebat. Ia gigit bibirnya kuat-kuat. Berusaha meredam suara tangisan. "Tapi Safina... rasa ini salah. Kakak bisa menyayangimu... Kakak bisa mencintaimu... tapi- tak lebih dari saudara." Tubuh Safina terasa tak lagi bertenaga hingga ia ingin pingsan ditempat saja rasanya.

"A- apa?"











TBC

Tim mana :

A. Tidur lampu dinyalain

B. Tidur lampu dimatiin

Obsession of SafinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang