[26]

4.9K 557 161
                                    

"Kamu jauh dari Allah pun, Allah tetap sedekat urat nadimu. Kurang setia apalagi coba?"

**

Semuanya terasa serba putih. Tak ada seorang pun yang menemaninya di dalam dimensi ini. Kemana semua pemilik peduli? Hai angin, ia hanya ingin bahagia... kasih sayang, sesulit itukah ia dapatkan? Rasanya tak adil. Semua orang ingin dicintai. Ingin disayangi. Tapi bahkan ketika darah menyelimuti sekujur tubuhpun, tetap tak ada seorang pun yang berada di sisinya.

Tit tut tit tut

Gemericik hujan diluar sana... menambah syahdu keheningan dalam salah satu ruangan di rumah sakit Jakarta tersebut. Ketika langit menggelap, sesungguhnya ia menangisi derita para penghuni hati.

"Alhamdulillah, luka pasien tak terlalu berat. Ia dapat diselamatkan."

"Hanya saja tangan kirinya akan lumpuh dalam waktu sementara. Tak bersifat permanen. Kita tinggal memberikannya terapi."

"Apa pasien ini tidak memiliki keluarga? Kontak hpnya bahkan tak ada yang bernama ibu atau ayah."

Seorang dokter berjas putih mengkerutkan dahi heran. Pun dengan rekan-rekan susternya. Mereka saling berdiskusi tak mengerti dengan isi ponsel dari pasien yang masih belum sadarkan diri sampai sekarang itu. Hingga tiba-tiba, terjadi pergerakan pada ujung jari telunjuk kanan sang pasien. Bergegas dokter yang melihat hal itu mendatanginya.

"Aa...." Kedua bibir bergetar. Pucat mengkerut kulit bibir itu. Sedang kedua matanya masih terpejam. Dokter dan para suster memperhatikan harap-harap cemas. Tak tinggal diam. Memeriksa denyut nadi maupun frekuensi detakan jantung.

"Ma- ti...." Satu kata meluncur dengan suara serak-serak basah. Dokter kaget. Semakin mendekatkan telinganya pada mulut sang pasien. "Mati...." kini berupa lirihan. Namun dokter dapat mendengarnya teramat jelas.

"Siapa nama pasien ini?" Tanya sang dokter cepat.

"Eland Wardana Putra. Diketahui berumur tujuh belas tahun. Berstatus pelajar SMA," jelas salah satu suster sambil mengecek selembar kertas data di pangkuan tangannya. "Ada apa Dok?" tanya suster itu khawatir. Baru saja sang dokter ingin membuka suara, kembali terdengar kalimat yang menggetarkan hati siapa saja ketika mendengarnya.

Satu kalimat yang diucapkan pasien itu dengan air mata mengalir tanpa membuka kedua matanya.

"Mati... sesulit itukah untuk mati? Kenapa- Tuhan tak lekas memberikan saya kematian? Saya hanya ingin mati... kenapa sulit sekali?"

Dan sang dokter, tak sanggup untuk tidak memeluk pemuda berperawakan tinggi putih dengan perban yang menghiasi sempurna kepala, kedua tangan, dan hampir sekujur tubuhnya itu.

Sedang gemericik hujan, diluar sana,

telah berhenti. Berganti tetesan embun dalam jiwa-jiwa yang dingin.

**

"Sebelum kita keluar dari hutan ini, aku ingin kamu berjanji satu hal padaku, Safina." Safina yang tengah mengusap-ngusapkan kedua telapak tangannya karena kedinginan itu, terhenti dan menoleh bingung pada David.

Obsession of SafinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang