[22]

5.3K 576 142
                                        

Kaulah warna darahku....

Kaulah obat, kaulah rasa sakit.

Kaulah satu-satunya hal,

yang ingin kusentuh....

**

Denting jarum jam terus berbunyi.

Langit perlahan dengan pasti, berarak menuju peraduannya. Sedang senja pun mulai tak sabar memamerkan dirinya diantara, kepakan sayap burung Kapinis.

Senja kali ini,

ditemani dengan sang hujan yang mulai lelah terus menari,

perlahan, bergantikan gerimis dalam kesyahduan.

Seorang wanita berumur kisaran empat puluh tahun, berjalan tergopoh-gopoh memasuki rumah. Pucuk kepalanya yang tertutupi hijab, basah oleh rintikan hujan. Pun ujung celana kainnya yang berwarna abu-abu gelap.

"Assalamu'alaikkum! Ya Allah, ini kenapa pintu nggak dikunci? Safinaa!" Wanita itu menaruh tas sampingnya di atas meja ruang tamu. Ia dapati keadaan rumah yang hening. Sepi. Seketika, perasaan cemas menyelimutinya.

"Ayahh! Ini anak-anak pada kemana?"

"Lagi dikamarnya mungkin, Mi," jawab seorang pria yang baru saja menyusul memasuki rumah dan mengkunci pintunya dari dalam. Berusaha menenangkan perasaan istrinya. Hawa dingin, serasa menjalar ke seluruh tubuh.

"Kebiasaan pintu nggak dikunci." Wanita yang kini sibuk memikirkan anak-anaknya itu, berucap kesal sekaligus khawatir. Benar. Wanita itu adalah, umi. Sosok malaikat bagi kedua buah hatinya. Safina dan Wildan. Baru saja umi ingin meneriaki nama putri sulungnya kembali, saat itu pula, terdengar derap kaki berjalan tergesa-gesa dari arah dapur.

"Umiiiii!"

"Wildan!?" Umi terkaget. Putra bungsunya baru saja berlari dari arah ruang keluarga sambil merentangkan kedua tangan. Lalu, memeluk sang umi begitu erat. Umi yang diperlakukan seperti itu, hanya menggeleng-gelengkan kepala kecil. Ia mengerti. Itu tandanya, sang buah hati, tengah dilanda rasa takut akan sepi.

"Kenapa pintunya nggak dikunci, hm? Kalau ada orang jahat masuk gimana?" Umi bertanya lembut sambil memegang kedua sisi bahu Wildan. Wildan pun manyun. Manyun kesal.

"Abisnya Wildan takut, Mi... daritadi Wildan sendirian. Hujan lagi. Wildan masuk rumah aja itu pake kunci cadangan dibawah karpet, ish!" Umi menatap heran Wildan detik itu juga.

"Lah? Kak Safina mana? Di kamarnya 'kan?" Wildan menggeleng. Lalu tanpa sepatah kata, berlari cepat menuju meja diatas dapur. Mengambil secarik kertas dan kembali berlari ke arah umi, menunjukkan kertas tersebut. Umi menerimanya dengan heran, lalu, dengan cepat, penasaran, membaca tulisan pada kertas hvs tersebut.

Umi, ayah... Safina izin nginap dirumah teman ya selama beberapa hari. Ntah sampai hari apa. Safina ada tugas penting yang berkaitan dengan project baru Safina. Maaf Safina izinnya lewat ini, karena buru-buru mi. Hp Safina juga mati karena lowbat.

Obsession of SafinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang