[13]

6K 657 53
                                    

"Ada yang mencintai. Ada yang membenci. Begitulah hidup. Adapula yang esoknya, saling mencintai lalu, saling membenci. Begitupun sebaliknya."

**

"Lo, pulang bareng gue." Itu perintah. Bukan tawaran.

"E- Eland!?"

Safina sungguh tak mengerti ketika sosok dingin Eland muncul tepat di depan pintu kelas Safina dan berdiri menungguinya sembari bersedekap dada. Mengabaikan bisik-bisik penuh tanda tanya dan tatapan memuja.

Dan disinilah mereka berdua berada, di bangku taman yang cukup ramai. Karena bagaimanapun, Safina memiliki prinsip menghormati. Lagipula, ia cukup penasaran dengan kehadiran Eland yang hobi melemparkan tatapan dingin penuh kebencian padanya itu.

"Pulang bareng?" Safina terkejut. Lagi.

"Ya. Ada sesuatu yang harus gue tunjukkin." Safina mengerjap beberapa kali. Apa benar... ini si Eland? Si muka jutek dingin itu? Eland bangkit dari posisi duduknya dan sebelum melangkah pergi, ia berucap dingin dan pelan, namun, terdengar jelas di kedua telinga Safina.

"Semoga lo tau gimana caranya tanggung jawab."

**

Ada suasana yang berbeda. Saling menusuk dan dingin. Saling melemparkan bom kebencian, diam-diam. Kiky tak mengerti bagaimana kedua sahabatnya itu bisa bertengkar?

"Makan daging anjing dengan sayur kol!!" teriak Kiky bernyanyi asalan tiba-tiba. Entah kenapa ia sangat kesal dengan situasi yang menimpa mereka sekarang. Seketika perhatian para penghuni sebelas IPA dua teralih pada Kiky. Dengan beragam ekspresi. Apalagi Fera yang langsung melayangkan buku uang kas pada jidat lelaki menyebalkan itu. Kiky meringis sejenak.

"Apa lo pada!?" sungut Kiky.

"Kiky Anggara Wijaya!"

Kiky kaget bukan main ketika Pak Alfino, guru biologi, kini sudah memandanginya sangar diambang pintu. Kiky turun dari atas meja dengan tergesa-gesa. Astaga. Saking cepatnya, ia sampai terpelecok. Tak elak, Kiky pun menjadi bahan tertawaan satu kelas.

"Asem, pantat gue sakit," umpat Kiky sambil berjalan ke arah bangkunya yang tepat berada di antara Eland dan David. Ah, mereka lagi. Kiky mau mati saja rasanya sekarang.

Tolong ceburkan ia ke samudera manapun.

**

Eland benar-benar menepati ucapannya.

Ketika bel pulang sekolah berbunyi, persis seperti tadi. Eland menunggu Safina. Safina keluar kelas, dan Eland memberi kode mata datar. Safina mengikuti dari belakang, keduanya menuju parkiran sekolah tanpa seucap patah kata.

Eland tak takut pada David. Dan itu bukan alasan dia tahu David mengikuti ekstrakulikuler futsal sepulang sekolah ini. Oleh karena itu, Eland sudah mempertimbangkan bahwa David tak mungkin akan menemui Safina.

"Masuk," pinta Eland dingin menyuruh Safina memasuki mobilnya.

Safina sempat bingung dan ingin bertanya, tapi ntah mengapa aura dingin David benar-benar hebat. Membuat bibir Safina terasa kelu.

Lagi. Sepanjang perjalanan, hanya ada hening. Safina memilih melihat pemandangan kota Jakarta di luar sana dari jendela. Safina, tak tahu, bahwasannya Eland beberapa kali melirik gerak-geriknya dari kaca spion mobil. Ekspresi Eland... sama sekali tak terbaca.

Setelah sekitar dua puluh menit, mobil merah Eland ternyata melaju menuju rumah Safina. Kedua alis Safina mengernyit. Mobil itu berhenti dan Eland bergegas turun. Safina mengikuti. Dan begitu keduanya berada tepat di jalan depan perkarangan rumah Safina, Eland mendongakkan dagu kebawah.

"Cari."

"Hah?"

"Cari foto bokap gue," desisnya tajam hampir menyerupai bisikan. Terutama pada kosa kata terakhir. "Cepat, Safina! Jongkok! Dan cari sampai dapat!" Suara Eland... suara dingin itu bergetar. Bahkan Safina dapati kedua tangan Eland yang mengepal kuat. Nampak menahan emosi. Safina tergagap.

Tapi bodohnya ia yang segera menuruti kemauan Eland. Berjongkok dan kedua bola mata indahnya mengerjap-ngerjap mencari secarik foto dibawah panasnya mentari. Sedang Eland, lelaki itu tak hentinya menahan geram. Ia benci. Ia benci pada Safina. Tapi ia,

lebih benci pada dirinya sendiri.

Safina terus mencari dengan napas terengah. Keringat mulai mengaliri pelipis dahinya. Sungguh panas. Tapi foto itu, harus dapat. Harus. Hingga akhirnya, sebuah suara terdengar, tepat dari balik punggung Safina yang masih berbalutkan seragam sekolah itu.

"Berdiri."

Detik itu juga, Safina tersentak. Kaget.

Bukan karena suara dingin itu, lagi.

Bukan juga karena nada menusuk yang sarat akan kebencian, lagi.

Tapi karena, kedua tangan kekar yang memegang bahunya. Membantunya untuk bangkit dari rasa lelah yang tak kunjung berarti.

Dan ketika Safina menoleh.

Ia bagai tersengat setrum.

Ba- bagaimana bisa?

Ia kira ia hanya berhalusinasi, tapi Safina yakin bahwa ia tak rabun untuk memastikan siapa yang kini berdiri di depannya dan, menatap Safina dengan sorot terluka dan menyesal.

"Da- David...." lirih Safina bergetar.

Dan Safina, terjebak diantara mereka berdua. Diantara sang peluka dan pahlawan.

Ini, benar-benar,

posisi yang berbahaya.









TBC

Obsession of SafinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang