[60]

3.2K 282 112
                                    

"Tak ada wanita sebaik apapun yang mampu mengubah seorang lelaki. Jika lelaki itu mencintainya, maka lelaki itu sendiri yang akan mengubah diri."

**

"Apa!? Jadi Umi udah ketemu sama kak Alfad dan dia minta restu buat lamaran minggu ini?"

Umi mengangguk diiringi seukir senyuman. Sembari mengelus pelan pucuk kepala putri tercintanya itu yang merebahkan diri tepat di salah satu sisi bahu umi. "Kak Alfad bakal ngelamar siapa, Mi?" Tak Safina sangka kak Alfad akan secepat ini menemui umi. Dari kemarin-kemarin setiap Safina bersikukuh agar kakak kandung tampan yang sempat ia sukai itu menemui umi, selalu saja ada alasannya.

"Katanya sih nama wanita itu... a- apa ya? Oh, Asila!" Umi nampak berpikir sesaat seakan menerawang dan bersemangat begitu mengetahui nama wanita yang akan dilamar putra sulungnya itu. Safina terhenyak. Asila? Oh Safina seperti pernah mendengar nama itu di suatu tempat. Safina terdiam sembari mengorek masa lalu dalam putaran memorinya. Ah, dapat!

Di warung nasi uduk.

Saat Safina menemui kak Salsa.

Dan tak sengaja mendapati Alfad yang tengah memunggunginya dengan seorang wanita cantik dewasa di hadapan Alfad. Karena Safina sendiri mendengar beberapa kali suara Alfad yang mengucapkan satu kata, Asila. Safina yakin wanita itu yang dimaksud umi. Tanpa sadar Safina tersenyum simpul. Takdir, bisa sesederhana itu, ya?

Safina ikut senang dan bersyukur mengetahui berita pernikahan Alfad tersebut. Usai itu, umi membawa Safina bercerita banyak hal kecil mengenai apa yang terjadi di rumah saat Safina berkemah selama tiga hari. Ya, walaupun lebih tepat disebut 'dikurung dalam villa bersama Eland' daripada berkemah. Diam-diam Safina beristighfar dalam hati. Sungguh, ia tak maksud membohongi kedua orangtuanya atau siapapun.

Wildan yang beberapa kali menghambur kamar Safina sekaligus mengeluh karena Safina yang menghilang sehingga teman kelahi bocah SD itu tak ada seperti biasa. Ataupun sang ayah yang tanpa sadar menyiapkan empat piring sarapan di pagi hari dan menepuk jidat begitu ingat bahwa Safina tak ada dalam rumah.

Safina tertawa ringan mendengar kata demi kata yang dituturkan umi.

Ah, lalu ntah mengapa tiba-tiba saja Safina teringat akan sosok Eland.

Lelaki dingin irit kata itu, dengan terang-terangan mengakui menyimpan rasa pada Safina. Bahkan menculik Safina dan demi apapun Eland lebih mengerikan dibanding sosok David. Namun ntah mengapa, Eland dapat mengusir seluruh rasa takut Safina dan menenggelamkan Safina pada pijak demi pijak kepingan kelam masa lalu kelam seorang Eland.

Safina pun menyadari, akhirnya.

Sebuah satu praduga.

Eland dan David sama-sama terobsesi pada Safina.

Hanya saja perbedaannya,

David agresif dan Eland perlahan menyapu bagai debu.

David tersurat sedang Eland tersirat.

David ekspresif sedang Eland tertutupi topeng dingin menyebalkannya.

David membuat Safina tak nyaman tapi Eland mampu menghadirkan rasa aneh tersebut.

Obsession of SafinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang