[45]

2.3K 246 38
                                        

Hai, aku mulai meragukan siapa diriku sebenarnya.
Aku mulai ragu, bisakah aku membencimu untuk selamanya?

**

Safina mendongakkan kepalanya sedikit ke atas, menatap dua manik mata Eland tanpa sengaja. Mata tajam elang itu seketika menghangat namun sedetik kemudian kembali datar seolah tak ada apapun. "Ah, kamu tau dari mana aku sakit, Land?" tanya Safina spontan dengan nada kebingungan. Bukannya ia sama sekali tak ada berkomunikasi dengan sosok Eland?

Sedetik, Eland nampak gugup. Namun wajah dinginnya begitu pandai menutupi. "Keliatan jelas, muka lo pucat. Ga ngaca?" Kedua bola mata Safina melebar. "Seriusan?" Safina sama sekali tak terpengaruh oleh nada sinis bicara Eland. Dan itu salah satu hal yang membuat Eland heran hingga detik ini.

"Pakai jas hujan lo. Gue gak mau dijadiin saksi polisi kalo lo tiba-tiba kecelakaan di jalan." tutur Eland datar sambil membuang muka ke arah jalanan. Safina tersenyum tipis. Dan Eland diam-diam menangkap pemandangan itu lewat ujung mata elangnya. "Kamu gak perlu khawatir. Aku bakal baik-baik aja kok." balas Safina sembari membuka jok motornya. Masih dengan Eland yang setia memayungi gadis tersebut.

"Khawatir? Gak tuh. Geer banget." decih Eland berbohong, walau hatinya tak bisa menyangkal fakta itu sedikitpun. Safina lagi-lagi tersenyum dan Eland benci bahwa kedua matanya terus diam-diam menangkap ukiran senyum manis itu. Arght, Eland bisa gila lama-lama. Apa yang sebenarnya tengah ia lakukan sekarang!? Memayungi Safina? Khawatir jika ia sakit? Memangnya apa urusannya dengan Eland? Kenapa ia harus peduli? Sial.

Safina sudah mengenakan jas hujannya dan kembali menghadap Eland yang masih kebingungan akan dirinya sendiri. "Eland?" Suara Safina sedikit teredam derasnya hujan siang ini. Eland mendecih. Lagi. Panggilan Safina menghentikan pertengkaran hebat antara logika dan hatinya. "Kamu gak pulang?" Eland menarik payung dari atas Safina, kini ia hanya memayungi dirinya sendiri. "Pulang sana." lirih Eland dingin.

Belum sempat Safina ingin berucap terimakasih, Eland sudah membalikkan badan dan mulai melangkah menjauhinya. Safina menghela napas. Ada apa dengan sosok Eland? Mengapa ia terlihat peduli dan membenci Safina dalam waktu bersamaan? Punggung tegap Eland semakin menjauh. Tertelan oleh pelukan air semesta.

Hingga hilang dibalik salah satu pepohonan yang telah basah sepenuhnya.

**

"Dasar anak pelacur!"

"Anak haram! Jauh-jauh deh, jangan sampai kamu berteman sama dia, ya!"

"Dasar anak wanita para hidung belang. Ha ha. Kasian banget."

"Bapaknya siapa, ya? Oh jangan-jangan lebih dari satu. Ibunya 'kan... ssyt."

"Tau gak ibunya itu ditiduri berapa cowok demi uang! Ya ampun! Jijik tau jeng."

"Diam!" Eland terbangun dari segala traumanya dengan napas tersengal-sengal. Waktu menunjukkan pukul satu malam ketika Eland melirik jam tangan yang bertengger di lengan kirinya. Sial. Air matanya mengalir tanpa ia sadari. Lagi-lagi ia menangis dalam lelapnya. Eland menghela napas panjang. Semua mimpi buruk itu, menghantuinya. Hingga detik ini. Rasa sakit hati sudah cukup membuat hatinya menjadi beku dan mati rasa.

Eland memejamkan mata. Mengingat semua momen ketika ia mengetahui bahwa mamahnya seorang pelacur. Eland, mengingat dengan jelas bagaimana kehidupannya berubah tiga ratus enam puluh derajat setelah itu. Eland, mengingat dengan jelas ketika orang-orang mencibirnya dengan kalimat penuh hinaan dan pandangan merendahkan. Dunia Eland hancur seketika.

Tapi daripada semua itu, satu hal yang paling menancap dalam ingatan Eland. Bahkan menusuk dengan rasa sakit yang tak bisa hilang hingga detik ini. "Kamu gak bisa nerima Mamah yang berusaha nyari nafkah buat kamu, hah? Kamu malu dengan Mamah yang begini? Kalau begitu silahkan kamu cari Mamah lain, Mamah gak bisa keluar dari dunia ini. Inilah dunia Mamah. Dan Mamah rela ngelepas kamu demi tetap di sini."

Air mata Eland kembali mengalir.

Deras.

Seperti malam-malam sebelumnya.









TBC

Eland :(

Obsession of SafinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang