[30]

3.9K 449 56
                                    

"Biar waktu yang ngungkapin gimana wajah asli kita sebenarnya."

**

Eland merutuki dirinya sendiri yang bisa-bisanya lupa mengunci pintu ruang inap. Tak elak, Eland kaget setengah mati melihat keberadaan Safina yang diiringi dengan teriakan gadis berhijab biru polos itu. Eland lekas berbalik badan dan Safina menutup kedua matanya kuat-kuat.

"Lo ngapain sih disini tiba-tiba." kesal Eland sembari mengambil pakaiannya di dalam sebuah tas hitam dan kembali memasuki kamar mandi. Terdengar bunyi pintu yang lumayan keras saat ditutup. Merasa Eland telah pergi, Safina pun membuka kedua matanya dan mendesah lega.

Ya Allah, dia bersumpah bahwa detak jantungnya bagaikan meroket barusan. "Maaf!" seru Safina takut-takut. Safina jadi bingung sendiri apa yang harus ia lakukan sekarang. Ia benar-benar, malu. Tak sampai lima menit, sosok Eland kali ini keluar dengan pakaian lengkap. Kaus polos hitam beserta celana selutut santai berwarna hitam pula.

"Em... Assalamualaikkum." Safina menyengir dengan telapak kanan terangkat seolah menyapa. Eland balas tatapan datar lalu beranjak menuju kasurnya, "waalaikkumsalam. Ngapain lo?" Eland duduk di pinggir ranjangnya. Dapat Safina lihat perban ditubuh Eland telah berkurang. Dan kini lelaki itu tengah meminum beberapa obat.

"Maaf sebelumnya, aku tadi udah ketuk-ketuk tapi gak ada jawaban." Safina berjalan menuju sebuah kursi yang berada di sisi ranjang Eland. Lalu berniat ingin mendudukinya.

"Siapa yang suruh lo duduk?"

"Eh?"

Eland mendengus. Menahan tawa tatkala Safina memilih kembali berdiri dengan wajah polos takut-takutnya. "Canda. Duduk aja." Eland meneguk air mineralnya tanpa menatap Safina. Safina kesal tentu saja. Lelaki ini irit bicara tapi begitu bicara sangat menjengkelkan. Safina pun menduduki kursi tersebut.

"Mau jenguk aja. Sakit apa?" Safina mulai mengatakan maksud tujuannya. Hening. Lalu, Eland terkekeh pelan. "Kalo karena kasian sori, gue gak butuh." Safina mengernyit mendengarnya, "kita teman. Salah kalo mau menjenguk?" Kali ini, Eland melirik ke arah Safina. "Gak, sih."

"Tapi, gue gak butuh siapapun saat ini. Dan seterusnya, gue harap." lanjut Eland sambil berdiri dan berjalan menuju pintu ruang inap. "Sekarang lo boleh pergi." Eland membukakan pintu yang tertutup tersebut. Safina terperangah melihatnya. Eland ini kenapa? Kenapa begitu dingin dan tertutup? Apa hanya dengan Safina? Atau ke lainnya juga?

"Jawab dulu, kamu sakit apa?" Safina bersikukuh. Eland tersenyum miring dengan rambut hitam basahnya yang sebagian kecil menutupi area dahi. "Kecelakaan. Puas?" Kedua bola mata Safina sontak membulat. "Kenapa bisa?"

"Kenapa lo harus tau?"

Safina bangkit dari posisi duduknya dan berdiri sambil mengeratkan pegangan pada tas kecil sampingnya. "Karena aku peduli dan kita teman." Eland mendecih. "Teman hanyalah sekumpulan orang palsu." Lagi-lagi Safina dibuat tidak mengerti dengan pola pikir Eland. "Gak semua orang begitu."

"Tapi faktanya begitu."

"Kamu cuma belum temuin atau kamu yang gak sadar."

"Lo kesini ngajak debat apa gimana?"

Walau Eland mengucapkan kalimat tersebut tanpa emosi dan ekspresi, tapi hal itu yang justru memancing kekesalan Safina berkali lipat. "Gak lama lagi kemah. Kamu tetap ikut?" Safina tentu patut diacungi gadis tersabar. Ketika biasanya gadis-gadis yang mendapat balasan dari Eland seperti itu akan mengumpat. Tapi tidak dengan Safina.

"Gak tau."

"Kalo gak bisa biar aku yang izinin karena aku salah satu anggota-"

"Kenapa sih lo harus peduli!?" Tiba-tiba Eland memotong dengan nada rendah namun meninggi. Hampir menyerupai bisikan. Seketika Safina terdiam. "Dengan lo begini gue bisa ngira lo punya perasaan ke gue." lanjut Eland dengan nada berubah datar. Nada normalnya kembali.

"Perasaan?"

"Ya. Atau, lo betulan suka gue ya? Kalo iya mending lo pergi deh. Gue takut gak bisa bales." Eland tersenyum miring.

Safina bergidik seketika. "Gak! Aku cuma mau jenguk. Aku penasaran kamu kenapa. Dan jujur aja sampai sekarang aku bingung. Kamu bilang kalau kita teman. Tapi kenapa sifat kamu berubah-ubah? Kenapa kamu dingin dan seolah gak butuh siapapun?" Safina keluarkan uneg-unegnya dengan perasaan bingung mendominasi.

Eland terkekeh tanpa suara dan kali ini bersandar pada pintu yang terbuka dengan tangan bersedekap di dada. "Harus gue jawab semua pertanyaan lo?" Safina mengangguk. Ia putuskan untuk mengikuti permainan Eland. "Harus."

"Gue emang gini. Dan gue emang gak butuh siapapun. Simple."

"Bohong." Safina menyela sambil tersenyum sedih. Eland terkesiap.

"Bukannya orang yang berkata gak butuh siapapun adalah orang paling kesepian di dunia ini? Bukannya itu sebaliknya?" Safina masih mempertahankan senyumnya. "Kamu, sangat pandai mengenakan topeng dingin menyebalkan itu." Tanpa sadar, nada suara Safina sedikit bergetar.

"Tolong pergi." Suara Eland serak.

"Aku bakal jadi temen yang selalu ada di sisi kamu." Safina sendiri tidak mengerti begitu kalimat tersebut meluncur dari kedua bibirnya. Ia seolah dapat merasakan perasaan Eland yang sesungguhnya. Hampa.

"Lo pikir gue bakal percaya?"

"Nanti malam aku kesini lagi. Assalamualaikkum." Dan Safina melewati sosok Eland sambil melempar senyum tipis. Eland menggeram dalam diam. Menatap sosok Safina yang semakin mengecil termakan cahaya. Eland jawab salam tersebut dan segera menutup pintu. Jantungnya berdebar keras.

"Gak bakal. Gak bakal gue biarin lo masuk lebih dalem ke kehidupan gue."

**

Handphone Safina berdering tatkala ia akan menaiki motornya. Dari David. Safina ragu harus mengangkat apa tidak. Mengucap Basmallah, Safina putuskan untuk menerima panggilan tersebut. Tak terduga, David langsung mengucapkan to the point kalimat yang mampu membuat air mata Safina hampir menetes.

"Aku tau kamu suka sama cowok bernama Alfad itu 'kan? Tapi maaf, manis. Dia bakalan nikah sama kakakku malam ini. Jadi sebelum kamu tau dari orang lain, kamu gak bakalan syok. Kamu memang ditakdirin buat aku." Dapat Safina rasakan David menyeringai di seberang sana. Sekujur tubuh Safina melemas. Dan tak tertahan lagi, air mata Safina pun menetes.

Telepon putus. Safina yang mematikan. Dadanya terasa sempit dalam hitungan detik. Bagaimana bisa? Lelaki secerah matahari itu yang padahal begitu takut bahwa Safina akan menikah dengan lelaki lain tapi... apa sekarang?

Safina memutuskan menaiki motornya dan membelah jalan ibu kota. Tak pernah Safina sangka, patah hati akan semenyakitkan ini. Bagaimana ketika angin menyapu wajahnya yang telah penuh air mata dalam diam. Safina menyebut nama Allah berkali-kali sepanjang perjalanan. Wajah Alfad terus terbayang dalam benaknya. Pertemuan-pertemuan singkat mereka yang sederhana namun bermakna.

Ucapan romantis yang tidak berlebihan dan cara pria itu memperlakukannya. Dia adalah patah hati terindah Safina. Usai tiba dirumah, Safina memutuskan mengambil air wudhu dan sujud memanjatkan cinta pada Sang Pencipta.

Menangis diatas bumi yang didengar oleh langit.








TBC

Safina mewek :(

Obsession of SafinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang