"Setiap orang punya hati kecil, dan gak ada hati kecil yang gak tulus. Sampai sini, paham?"
**
Sungguh menyebalkan.
Eland benci ketika hatinya serasa diiris-iris pisau tajam tatkala Safina menyebut wanita itu sebagai bidadarinya ketika mengembalikan foto tersebut. Ntah untuk alasan apa, air mata Eland menetes begitu saja. Sial. Itulah mengapa Eland memilih meninggalkan Safina seorang diri. Eland hanya tak suka ketika seseorang melihatnya dalam keadaan lemah.
Eland, begitu tak suka menunjukkan wajah aslinya yang rapuh.
Eland, sangat tak suka.
Eland merasakan deru angin menampar wajahnya berkali-kali. Kedua bibir Eland terkatup tipis. Hatinya terasa sesak ketika manik mata elangnya menangkap kembali wajah tersebut dalam putaran memori. Asal diketahui saja, Eland sudah lama meninggalkan tempat yang orang banyak sebut sebagai rumah. Dan Eland memilih tinggal di sebuah kost mini yang tak ada seorang pun mengetahuinya.
Satu-satunya barang berharga yang Eland bawa ialah motor ninja yang kini ia kendarai. Motor inipun dapat dibelinya dengan tabungan dari semasa SMP, dan juga sebagian bantuan uang dari salah satu pamannya yang baik hati. Eland menghela napas kasar. Bukannya mendapat inspirasi dari ajakan Safina tersebut, kini Eland malah mendapati dirinya yang lemah kembali terkuak.
Dirinya ketika tembok dinginnya mulai kehilangan kekokohan.
Dan Eland benci karena Safina dapat menjadikannya kembali ke titik ini. Ke suatu titik dimana topeng dinginnya terjatuh. Eland memejamkan mata erat sepersekian detik sebelum akhirnya memperlaju cepat motornya membelah jalan ibu kota. Matahari perlahan kembali menuju peraduan.
Lantunan adzan magrib menari-nari diantara keramaian dan kesibukan manusia. Diiringi senja nan mendayu-dayu lembut disertai semerbak angin. Eland memarkirkan motornya di sebuah warung berbahan kayu minimalis. Warung kopi dimana ia bertemu sosok Safina kemarin. "Nak Eland!" Seorang wanita tua seketika menyambutnya dengan senyuman hangat.
Eland tersenyum tipis. Begitu tipis hingga nampak tak seperti senyuman. "Kopi hangatnya satu, Bilen." Eland berucap serak. Nama asli beliau Lena. Dan Eland memiliki panggilan khusus dengan embel-embel bibi yang disingkat bi. Lalu dipadukan dengan nama awalan beliau. Bilen.
Bilen tersenyum sembari menunjukkan jari jempolnya tanda okay. Usia beliau kepala lima dan masih nampak bugar. Walaupun tak dapat dipungkiri bahwa keriput tuanya telah menampakkan diri. Bilen suka memakai jilbab langsungan dengan warna-warna gelap. Seperti hitam, navie, ataupun maroon tua. "Makasih, Bilen." tutur Eland lembut pada Bilen saat beliau menyuguhkan secangkir kopi.
Bisa dibilang, hanya pada Bilen lah Eland dapat berbicara selembut tadi. Bagi Eland, Bilen bagaikan ibu kandungnya sendiri. Dan fakta ini ada sejak jauh hari. Dari saat Eland menginjak kelas satu SMA. Dimana telah terjungkar baliknya dunia seorang Eland. Dimana ibu kandung yang ia kasihi ternyata menjadi seorang wanita kupu-kupu malam.
"Malam ini bakal hujan deras, le. Anginnya kencang dari semenit lalu." Suara hangat Bilen terdengar diantara riuhnya acara sepak bola pada tv mini Bilen yang terletak di atas sebuah lemari tua. Eland diam. Memejamkan kedua matanya sembari menyeruput kembali kopi tersebut. Bilen sudah hafal bagaimana karakter Eland.
Dingin namun rapuh.
Rapuh namun dingin.
"Bibi shalat dulu, ya. Kamu tolong jaga warung sebentar." Bilen menyentuh bahu kanan Eland lembut sebelum akhirnya memasuki sebuah pintu yang menghubungkan dengan kediaman beliau. "Iya, Bilen." sahut Eland pelan akhirnya. Eland kemudian menatap jalan luar. Benar. Angin semakin kencang. Sedetik kemudian, rintikan hujan mulai membasahi bumi bagaikan semut-semut yang mengerubungi sebongkah gula.
Eland masih asik dengan diamnya. Dengan tenang dan segala kebisuannya. Hingga sebuah pemandangan mengusik semua itu. Tatkala seorang gadis berlari cepat ke teras warung kopi tersebut usai memarkirkan motornya dibawah sebuah pohon. Gadis itu berhijab. Dan Eland mengenal gadis itu. Sial. Kenapa lagi-lagi takdir terus mempertemukan keduanya?
Hingga gadis itu menoleh dan kedua manik mereka saling bertemu, Eland pun sadar semesta seperti sedang mempermainkannya. "Eland!?" Eland mendecih tanpa suara. "Dia lagi," lirih Eland jengkel pada dirinya sendiri. Tolong, degup jantungnya. Kenapa tiba-tiba meroket seperti ini setiap kali bertemu sosok gadis bermata peri tersebut? Benar. Safina.
Safina memasuki warung tersebut dan menduduki bangku di samping Eland sembari memeluk dirinya sendiri yang nampak begitu kedinginan. "Aku neduh disini lagi, gak papa 'kan? Kamu juga pasti lagi neduh." Suara Safina sayup-sayup tertelan rintik yang mulai berubah ganas menjadi hujan deras. Eland diam saja, mengacuhkan keberadaan Safina. Seperti biasa.
"Oh iya, kamu kenapa tadi lari? Kamu marah karena aku baru ngembaliin foto ibu kamu sekarang?" Detik dimana Safina menyebutkan kata ibu, disaat itulah Eland baru menoleh kepadanya. "Apa lo bilang?" desis Eland dingin. Ntah mengapa wajah Eland nampak pucat. Safina merasa takut pada Eland namun ia mengangguk cepat. "Iya, ibu kamu. Foto itu... foto ibu kamu 'kan?" Eland menatap tajam Safina.
Safina memilih membuang muka menatap arah jalan raya. Dedaunan, pohon, semuanya telah basah dilahap air langit. "Tau darimana?" Suara Eland pelan, namun mampu membuat Safina terasa tubuhnya menjadi beku. Safina kembali menoleh pada Eland. "Nebak aja. Wajahnya mirip kamu." Safina tersenyum tipis. Sedang Eland menatap sinis. "Sok tau."
Kedua alis Safina mengernyit. "Jadi? Kalo bukan ibu kamu siapa?" Eland menyeruput kembali kopinya. Kini hingga habis. Lalu bangun dari duduknya. Memilih berjalan dan berdiri di teras. Membuat Safina mengikutinya dan ikut berdiri di sisi Eland. Tatapan mata elang Eland jatuh pada gelapnya malam dipeluk hujan. Untungnya ini ibu kota. Cahaya lampu berada dimana-mana. "Gue gak nganggep dia ibu. Begitupun sebaliknya." Suara dingin Eland terdengar.
"Kenapa?" tanya Safina bingung. Namun suaranya cukup jelas diantara tarian hujan. "Siapa sih yang mau dilahirkan dari wanita malam?" Hening. Suara Eland begitu sarat akan luka dan kebencian. Eland yakini kini Safina pasti begitu syok mendengarnya. Ada jeda lima menit yang terisi dalam diam. Hingga akhirnya suara Safina menyapu indera pendengaran Eland.
"Pasti berat."
Eland seketika menoleh tak percaya pada Safina. Ia pikir Safina akan mencaci dirinya seperti yang lain. Ataupun menasihatinya dengan berbagai kalimat basi tanpa mau mengerti apa yang ia rasa selama ini. Safina tersenyum sendu saat kembali menatap manik mata Eland.
"Pasti sangat berat... apa yang sudah kamu lalui hingga sekarang, kamu hebat." Dan Eland tak tahu mengapa kini hatinya berdesir begitu kuat. Kedua tangan Eland mengepal erat. Eland memalingkan wajah dari tatapan Safina yang serasa mengunci seluruh tubuhnya. Dada Eland terasa sesak. Ia hanya butuh satu orang untuk mengucapkan kalimat itu, selama ini.
Dan Eland telah menemukan seseorang itu. Sekarang.
Safina.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Obsession of Safina
RomanceRomance - Teenfiction - Religi [TELAH DITERBITKAN] Akankah obsesiku membawaku untuk mencintai Tuhanmu dan Tuhanku? Aku cemburu kepada-Nya. Karena cintamu, sepenuhnya tertuju untuk-Nya. Aku ingin, merasakan cinta itu. Mendambamu, sedemikian dalam. Ma...