"Masa lalu... detik ini juga, aku telah memaafkanmu. Dengan sebenar-sebenarnya maaf."
**
"Pagi."
Sapaan hangat diiringi seringain bibir tipis itu, menjadi pemandangan utama yang Safina dengar sekaligus lihat begitu terbangun, kembali ke alam nyata. Nyanyian damai suasana ademnya pagi ini, terlihat jelas dari bentangan hutan dibawah awan biru, dari kedua jendela yang Eland sendiri adalah sorot sempurna dibaliknya. Duduk di sebuah sofa sembari menopang dagu, sinar mentari nampak menerpa sebagian wajah tampan dinginnya.
Ah, tersadar akan sesuatu.
Cepat-cepat Safina mengucek-ngucek kedua matanya, agar terlihat normal. Kedua mata Safina 'kan sembab... semalam itu, Safina segera berlari meski tenaganya serasa diserap habis-habisan. Safina, meringkuk di bawah selimut masih dengan isak tangisnya, hingga ia pun terlelap dalam mimpi. "Pagi juga," balas Safina dengan cengiran kecil usai memastikan bahwa kedua matanya tak sembab sehabis menangis deras. Setidaknya, memudar.
"Hari ini kemah terakhir. Malam penutupan. Besok paginya udah kembali aktifitas biasa ke sekolah. So, gue mau kita ikuti kemah hari terakhir ini." Eland yang semula asik mengamati syahdunya suasana di luar jendela, detik itu juga menoleh pada Safina sembari tersenyum miring. "Lo setuju 'kan? Atau... masih mau lama-lama berdua sama gue, hm?" Tak Safina sangka Eland begitu pandai mengubah kepribadian. Ah, bukan. Safina harusnya sudah dapat menduga itu, sejak lama.
Lelaki menyebalkan yang sialnya juga menakjubkan ini, sekarang, ia seakan remaja lelaki pada umumnya yang ahli menggoda. Ah, ralat. Eland memang pandai dalam hal memainkan wanita. Tetapi, sungguh siapa yang menyangka jika ketika sepertiga malam datang, ia menjadi seorang anak lelaki yang begitu mencintai ibunya dalam doa dan tahajud? Yang bahkan menangisi teramat sangat. Dan Safina, ada dalam doa seorang Eland.
"Kenapa diem aja?" buyar Eland, membuat Safina terhenyak.
"Lo lietin gue... aneh. Ada sesuatu?" Lagi, suara Eland terdengar. Kali ini bernada khawatir. Tak bisa Safina pungkiri, ia, teramat iri dengan sosok Eland yang lain. Sosok tersembunyinya. Dan mungkin, sosok lain dari diri Eland yang Eland sendiri sengaja tutupi, rapat-rapat. Agar tak ada siapapun yang tahu, namun Safina dengan begitu lancangnya telah mengetahui sosok asli, seorang Eland.
"Gak, gak ada. Hehe. Aku setuju kita ikuti kemah terakhir." Safina kembali menyengir diakhiri senyuman kecil. Dan Eland sangat menyukai, pemandangan sederhana itu. Eland bangun dari posisi duduknya. "Ini jam delapan pagi. Kita berdua bakal ketahuan kalo kembali jam sekarang." Eland berdiri menghadap jendela, mengunci lurus-lurus setiap detik dimana dedaunan hijau berterbangan.
"Jadi?"
"Kita kembali malam. Nyelinap."
**
"Wildan! Buka pintu Nak, ada yang ngetok-ngetok tuh!" pinta umi pada Wildan, adik kedua Safina tepat di saat gerimis memeluk bumi dalam diam. Umi tengah memasak di dapur, sedang ayah pergi bekerja dari sejam lalu. Wildan segera berlari menuju pintu teras. Ia buka pintu tersebut dan seorang lelaki dengan ketampanan dewasa membuat bocah lelaki itu nampak kebingungan.
"Hay, Adik kecil. Assalamualaikkum." Lelaki tinggi itu tersenyum manis memperlihatkan deretan gigi rapinya. "Waalaikkumsalam, Kakak siapa, ya?" tanya Wildan dengan nada polos yang terdengar begitu lucu. Lelaki itu terkekeh kecil. "Ada.. umi?" Wildan mengangguk. "Umii! Ada tamu!" seru Wildan dengan nada yang kali ini cempreng. Lelaki itu tak bisa menghentikan sedikitpun senyumnya ketika, melihat seorang wanita tergopoh-gopoh menuju, pintu. Menuju, dirinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Obsession of Safina
RomanceRomance - Teenfiction - Religi [TELAH DITERBITKAN] Akankah obsesiku membawaku untuk mencintai Tuhanmu dan Tuhanku? Aku cemburu kepada-Nya. Karena cintamu, sepenuhnya tertuju untuk-Nya. Aku ingin, merasakan cinta itu. Mendambamu, sedemikian dalam. Ma...