[1]

22.8K 1.3K 70
                                    

"Maaf, ini hati. Kamu harus izin kepada Sang Pemilik Hati jika ingin mendapatkan hati ini."

**

Langkah kakinya tegas namun rapuh. Hanya saja, kerapuhan itu tak ada satupun orang menyadari. Berjalan menelusuri koridor dengan kedua headset putih yang setia melekat pada kedua telinganya. Waktu menunjukkan lima menit sebelum bel masuk berbunyi. Ia memang selalu sengaja datang pada saat seperti ini.

Tatapan kedua bola mata dingin yang seakan menyiratkan bahwa ia tak butuh sedikitpun kehangatan. Ditengah ramainya lalu lalang siswa-siswi, seorang lelaki menabraknya tanpa sengaja. Mungkin terburu-buru. Dan begitu lelaki itu menyadari siapa gerangan yang ia tabrak, wajahnya seketika panik melambangkan ketakutan.

"Maaf, E- Eland... Gue buru-buru. Serius maaf."

Eland Wardana Putra.

Lelaki yang sangat jarang tersenyum dan dikenal begitu datar, ketus, dan menusuk ke semua orang. Tak peduli sekalipun itu wanita. Eland hanya menatap lelaki itu dingin tak sampai dua detik. Lalu berucap dengan nada yang ntah mengapa mampu membuat lelaki itu merasa gejolak mengerikan dalam dada. Lebih mirip desisan.

"Kasian ya punya mata kalo gak berfungsi."

Dan Eland kembali melanjutkan jalannya diikuti beberapa pasang mata yang melemparkan tatapan horor padanya. Sulit diakui, Eland pun sangat pantas dikagumi, tapi ia memiliki benteng kokoh begitu tinggi. Dan tak seorang pun yang pernah berhasil melewatinya.

**

Pukul dua siang.

Keadaan taman gazebo sekolah mulai terlihat ramai, tanda-tanda akan pulang sekolah sebentar lagi. Walau begitu, seorang gadis berhijab putih rapi telah berdiam di sana sejak sejam yang lalu. Di taman gazebo SMA Garuda Jaya. Dengan notebook hitam kesayangannya.

Gadis yang tengah sibuk menarikan jari-jemarinya pada keyboard tersebut itupun sama sekali tak menyadari ketika sosok wanita berparas ayu dewasa datang. Tapi tak seorang diri. Kak Salsa namanya. "Safina." Gadis manis itu mendongak. Benar. Namanya Safina.

"Ini, ada anggota baru." Kak Salsa tersenyum pada lelaki yang ikut mendudukkan bokongnya di sisi kak Salsa. Berhadapan dengan Safina. Sebuah meja kayu panjang menjadi penengah di antara keduanya.

Lelaki dengan kedua bola mata hazel menawan itu, tersenyum miring. Tepat ketika kedua bola mata indahnya, bertubrukan dengan bola mata hitam milik Safina. Safina membalas dengan senyum ramahnya. "Jadi, Safina... ini David. Dan David, ini Safina."

Kak Salsa memperkenalkan keduanya. Senyum lelaki tampan itu mungkin manis. Tapi Safina tidak tahu mengapa suasana di sekitarnya malah menjadi kaku. Apalagi ketika Safina menyadari sesuatu yang mengganjal, saat kak Salsa menjelaskan singkat mengenai organisasi Blue Writer, David tetap tak mengalihkan tatapan intensnya dari Safina.

Meski Safina telah mengalihkan tatapan pada layar notebook. Tatapan itu membuat Safina resah. Ia melihat semuanya dengan jelas dari layar handphone miliknya yang tergeletak di atas meja. Pantulan dan tatapan.

"Kenapa aku kenalin kamu sama Safina? Karena Safina ini otaknya Blue Writer." Kak Salsa membawa namanya kali ini. Safina pun menatap seniornya sambil geleng-geleng.

Obsession of SafinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang