"Semangat. Semuanya bakal baik-baik aja kok."
**
Gemuruh tepuk tangan mengiringi tuts piano terakhir. Emperor Concerto for Piano, No. 5 telah usai disenandungkan oleh sang pianis wanita bergaun putih hitam tersebut. Adine. Seukir senyum tipis menghiasi wajah halus manisnya yang tak padam meskipun dilahap waktu.
Adine mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru barmaksud sebelum menyampaikan salam penutup, namun hingga pada suatu titik pandangan Adine terkunci. Suatu titik yang menyebabkan luka-luka dendam itu kembali membara begitu mudahnya. Percikan perih yang tak pernah bisa hilang dari relung hati seorang Adine.
Adine masih mengingat seluruh ciri khas lelaki tersebut. Piyama coklat bergaris, kumis tipis klimis yang menghiasi wajah ovalnya. Serta yang paling utama ialah topi kupluk abu-abu. Adine tertawa miris dalam hati dan secepat kilat membuang muka lalu membungkukkan setengah badan, salam hormat penutup.
Satu hal yang Adine yakini, alasan dia membenci Gisa dan dunia seni melukis, hanya karena satu. Lelaki itu. Rafa Ageng Setiawan. Mantan suami Adine.
**
Safina sedang disibukkan dengan urusan perkemahan angkatannya tahun ini. Membordir baju sanggah, mencari pinjaman tenda, hingga titik bengek lainnya seperti membeli cemilan di supermarket bersama Dira sore ini.
"Jadi gimana hubungan kamu sama David?" tanya Dira sambil memilah milih snack pada salah satu rak lemari di supermarket. Safina terdiam sesaat. "Emm... ntah. Lagipula, memangnya kami punya hubungan apa?" Safina terkekeh pelan. "Lho? Dianya suka kamu gitu, terus ngelarang ini itulah. Eh, tau-tau tunangan sama cewek lain. Gak sakit hati kamu, Na?"
Safina menggeleng-gelengkan kepala dengan kekehan tanpa suaranya. "Kamu lupa aku suka siapa?" Dira membulatkan mata seketika, seakan teringat sesuatu. "Kak Alfad?" Safina menatap Dira sekilas lalu tersenyum sembari berjalan menuju kasir. "Jadi sebenarnya kamu itu gak suka David?" Nada Dira syok. "Emang bisa suka dua cowok? Lucu kamu, Dir."
Dira belum tahu-menahu perihal Alfad adalah kakak kandung Safina. Yang Dira tahu Safina dulunya begitu sering mengunjungi gramedia sekedar untuk bertemu dengan sosok motivator hangat tersebut. "Jadi kamu ikhlas David tunangan sama Celia?" Safina mengangguk singkat. Sedang Dira masih diliputi rasa kaget.
Jam menunjukkan pukul setengah enam sore. Dira dan Safina pun berpisah di belokan arah dengan motor masing-masing . Safina tiba-tiba terbayang akan sosok David. Sebenarnya dia itu kenapa? Dia siapa? Kenapa begitu menginginkan Safina? Safina beristighfar. Lalu bersyukur karena David kini telah bersama Celia.
Walau tak bisa dipungkiri, Safina merasa ada sesuatu yang terasa janggal. Ditengah lamunannya, rintik hujan tiba-tiba mengenai permukaan kaca helm Safina. Dan dalam hitungan detik bagai ditumpahkan dari langit begitu saja, hujan turun dengan derasnya. Safina panik. Dan segera membelokkan arah menuju sebuah warung kopi, berteduh.
Safina berdiri di depan teras warung tersebut, menatap langit sendu. Ah, Allah. Ia harus segera pulang. Semoga saja hujan ini tak berlangsung lama. Safina mendekap dirinya sendiri. Bermaksud menyalurkan kehangatan. Hening. Di dalam warung kopi, hanya ada kitaran dua pengunjung. Asik menikmati kopi sembari menonton siaran bola di tv.
"Banyak yang benci hujan."
Terkaget, Safina menoleh secepat kilat. Dan menemukan sosok dingin yang tak pernah ia sangka akan bertemu disini. Eland. Wajah lelaki itu lurus menghadap depan, sorot mata bekunya nampak menerawang. "Eland... Kok kamu bisa disini?" Suara Safina redam oleh derasnya hujan, namun Safina yakin Eland tetap bisa mendengarnya.
"Habis beli bakpau."
Bakpau?
Bukannya ini warung kopi?
TBC
Rindu kalian :(

KAMU SEDANG MEMBACA
Obsession of Safina
RomanceRomance - Teenfiction - Religi [TELAH DITERBITKAN] Akankah obsesiku membawaku untuk mencintai Tuhanmu dan Tuhanku? Aku cemburu kepada-Nya. Karena cintamu, sepenuhnya tertuju untuk-Nya. Aku ingin, merasakan cinta itu. Mendambamu, sedemikian dalam. Ma...