[23]

5.4K 606 214
                                    

Allah, help me....

**

"Kamu tenang aja. Sepertinya aku tau daerah ini."

Hari beranjak senja, menyelip diantara deadaunan hutan nan rimbun. Gerimis masih belum reda. Sesekali, menjatuhi tanpa rasa bersalah. Safina memeluk erat dirinya sendiri. Sungguh, hawa dingin tetap tak menyerah untuk mendekap ia diam-diam.

"Kamu tau?" Bibir Safina yang kini agak pucat itu pun terbuka dan berbicara sambil menahan getar. Gila saja. Sudah sekitar setengah jam ia dan David menelusuri jalan setapak dalam hutan. Sebenarnya, Safina kesal bukan main. David sungguh ceroboh. Bisa-bisanya tertidur dan mengakibatkan keduanya tersesat di sebuah hutan terpencil. Sangat menyebalkan.

"Iya, aku baru sadar kalo ini hutan dimana aku pernah menjelajah dulu bareng kakek," sahut David yang berjalan tepat depan Safina beberapa langkah. Safina mengernyit heran beberapa saat.

"Menjelajah? Berarti... kamu memang tau tempat ini?" David terkekeh pelan. Untuk sedetik, bulu kuduk Safina serasa merinding. "Gak kok. Inget aja. Bersyukur dong aku inget. Jadi tau jalan keluarnya," balas David yang kini menghentikan langkah kakinya, menolehkan sebagian badan dan kepala pada Safina. Sembari tersenyum miring. Safina diam.

"Yaudah, ayo keluar dari sini."

"Ayo."

Lalu, tepat disaat itulah, hari benar-benar beranjak menuju gelap. Memanggil sang bulan. Tak ada cahaya. Tak ada penerangan apapun. Safina mulai cemas dan tanpa sadar memegang ujung baju David. Melihat itu, David mendengus senang. Tanpa Safina dengar ataupun ketahui.

"Mau malam. Bahaya. Sepertinya kita harus menginap di suatu tempat dulu." Bola mata Safina benar-benar melebar kali ini. Tak percaya dengan apa yang David katakan barusan. "Nginap?" David mengangguk singkat. Lalu, menutup mulutnya dengan tangan kanan seolah menguap.

"Disini, banyak hewan liar. Dan lagi, aku tau kamu capek. Tubuh kamu penat."

"Tapi nginap dimana Vid? Ini hutan!" Safina meringis. Ia benar-benar takut sekarang. Belum lagi ia menghubungi orangtuanya jika akan pergi. Dan yang lebih menyebalkannya, handphone milik Safina tertinggal di atas meja ruang tamu. Karena Safina pikir tadi, akan sebentar saja ia sekedar menemani David. Sungguh bodoh dirinya, yang tak pernah membayangkan akan terjadi hal seperti ini.

Bolehkah Safina merasa menyesal sekarang karena menemani David?

"Ada. Ada satu rumah yang kalo gak salah... sebentar lagi bakal keliatan. Tenang. Itu rumah peristirahatan keluarga kami jika sedang menjelajah seperti ini." Safina mendengar suara David namun, tak dapat melihat wajah David yang diam-diam mengukir seringaian.

Dan Safina merasa menyedihkan. Ia hanya bisa berkata, "semoga kita selamat. Dan bisa pulang, besok...." Dan David, kembali berjalan dengan Safina yang memegang lengan bajunya karena merasa ketakutan. David kemudian, menyalakan senter pada handphone-nya.

"Semoga aja."

**

"Ibu akan menikah."

Tak ada ekspresi apapun pada lelaki yang baru saja memasuki rumah tersebut dengan pakaian kaus hitam balapnya. Ketika ia melihat wanita di hadapannya yang ia panggil ibu kini, tengah tersenyum bahagia sehabis menyampaikan berita dalam tiga kata itu. Ia sama sekali tidak tahu harus berekspresi seperti apa. Lebih tepatnya, tidak ingin berekspresi apapun.

Obsession of SafinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang