[10]

7.4K 640 26
                                    

"Hidup setiap orang itu, adalah lembaran novel. Ada yang tipis karena kematian namun, ada pula yang tebal, menyambut umur hingga tua."

**

"Besok, sekolah kita kedatangan tamu penting, Na." Kak Salsa memberi info sembari melahap suapan nasi uduk terakhir ke dalam mulutnya. "Seriusan, Mba? Siapa emang?" tanya Safina sambil setia meminum es teh yang sudah terasa manisnya berkurang. Berusaha mengabaikan sosok lelaki yang tepat berada di balik punggung Kak Salsa. Dari setengah jam lalu.

"Itu, lho. Motivator terkenal yang baru aja booming akhir-akhir ini. Tapi belum besok sih acaranya. Dia baru mau liat-liat sikon gitu. Dan... kamu tau gak yang bikin kakak terkejut apa?" Ekspresi Kak Salsa berubah begitu excited sekarang.

"Apa Kak, apa!?" Safina pun tertular. Jarang-jarang Kak Salsa terlihat antusias seperti sekarang ini. Pasti, ini berita bahagia yang besar. Semoga. "Motivatornya itu... juga seorang penulis, Na! Dia itu cowok tapi udah punya toko buku yang sangat besar! Bahkan, bercabang, lho!" Senyum Safina semakin melebar.

"Wahh... Alhamdulillah dong, Kak! Keren tuh! Bisa berbagi juga gitu nanti soal dunia kepenulisan. Kalo bisa sih, aku bakalan minta nomor wa-nya deh, Kak! Ha ha." Safina menyengir di akhir kalimat.

"Yey, dasar! Tapi katanya sih emang masih muda. Dan belum menikah. Bisa jadi jodoh, lho, Na!" Kak Salsa kini tertawa terbahak. Safina manyun dan membalas, "ihh, Kak Salsa ini pikirannya ngelantur deh! Aku minta juga buat nanya-nanya gitu, Kak. Paling ntar Kak Salsa tuh yang kesensem. Wlee!" Safina menjulurkan lidah di akhir kalimat.

Jika sudah bersama kak Salsa, mudah saja sifat kekanakan Safina keluar. Karena kak Salsa sudah layaknya saudari kandung bagi Safina.

"Liat aja deh, besok. Oh iya, gimana... kamu sama do'imu itu?" Kini, Kak Salsa tersenyum monggoda. Safina terbatuk pelan. Astaghfirullah. Andai Kak Ningrum tahu jika do'i Safina yang baru saja ia tanyakan itu, tepat berada di belakang punggungnya.

"Hm... ntahlah, Kak. Kadang, perasaan ini, samar. Hilang dalam sekejap dan muncul kembali tanpa salam." Bibir Safina mengerucut. Ia lirik kembali, Alfad yang tengah asik berbincang di seberang meja sana. Ah, rupanya, kalimat kapan melamar dari wanita dihadapannya tadi itu hanya lawakan. Tapi Safina berpikir. Bagaimana jika memang itu yang akan terjadi?

Akankah... rasanya sakit?

"Safina, Kakak kasih tahu, ya. Hati itu, milik Allah. Gampang terbolak-balik. Jadi kamu, serahin aja semuanya ke Allah. InsyaAllah, nggak bakal kecewa." Kak Salsa tersenyum manis. Safina mengangguk cepat. Ia percaya bahwa perasaan yang benar adalah mencintai Sang Pencipta Semesta, terlebih dahulu.

Tiba-tiba Alfad bangun berdiri dari posisinya bersama wanita cantik berhijab syar'i itu. Keduanya, melewati Safina bak angin lalu. Dan bagaimana senyum terukir di wajah keduanya, sesaat, menciptakan goresan di hati kecil Safina.

Sesholehah apapun dia, ntah itu seperti kata orang banyak, sekuat apapun dia,

Safina tetaplah gadis biasa.

Dan lebih wownya, Safina pun hanya anak SMA. Yang baru saja merasa fana merah muda. Yang kerap kali disebut suka, bahkan, cinta. Safina menunduk tanpa sadar. Sulit diakui, kini jari-jemarinya bergetar. Sedikit. Safina beristighfar dalam hati.

"Na," panggilan Kak Salsa membuat Safina tersentak. "I- iya, Kak." Untung saja. Kedua sejoli itu tak melihat keberadaannya. Menyadari pun mungkin tidak. Safina tidak tahu akan bersikap bagaimana jika Alfad mengetahui kehadirannya.

Obsession of SafinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang