[63]

1K 151 33
                                    

"Mental illness is an illness.
Depression is real illness."

....

**

Setetes....

Dua tetes....

Hingga, tiga tetes....

Ah, menyebalkan.

Lelaki bermata elang itu, dengan cepat mengambil tisu dari balik saku celananya ntah untuk keberapa kali. Sembari menatap pantulan wajah dirinya sendiri pada cermin. Seputih kertas. Dengan hidung memerah akibat terus-menerus mengeluarkan darah.

Sesaat, ia tatap kedua bola matanya sendiri dengan senyuman sendu.

"Dasar, lemah...."

Lalu, ia tertawa pelan. Hambar.

Benar. Eland. Eland Wardana Saputra.

**

"Ih Umi! Rame banget!" Safina merasa kepalanya begitu pusing. Pesta pernikahan Alfad berjalan sangat meriah malam ini. Tak bisa Safina pungkiri jika sebenarnya jiwa introvertnyalah yang dominan. Ntahlah, ini memusingkan. Ditambah Safina merasa masuk angin.

Datang berdua saja dengan sang umi tanpa kehadiran ayah yang tengah keluar kota demi pekerjaan, membuat Safina mau tak mau mengenakan motor saja. Menggonceng sang umi tentunya. "Lah namanya aja pesta, Na. Kalau mau sepi ya kuburan," balas Umi setengah bercanda sambil tetap asik menyuapkan sate di piringnya.

Safina memanyunkan bibir.

Sekilas ia menatap Alfad beserta sang pengantin wanita, benar-benar serasi. Ah, untunglah Allah dengan mudahnya menghapus perasaan Safina pada Alfad. Kalau tidak? Momen bahagia ini akan terasa begitu miris dan menyesakkan bagi seorang Safina.

"Akh!" Safina memegang kepalanya untuk ketiga kali. Pusing.

Benar-benar ia harus pergi dari tempat ini!

"Umi... Safina ke taman disana dulu ya, gak jauh kok. Kalau mau pulang telpon aja, ok! Safina bener-bener pusing! Byee!" Tanpa menunggu jawaban umi, Safina segera melarikan diri. Membuat sang umi hampir saja menjatuhkan satu satenya dari piring. Terkaget sekaligus jengkel.

"Safina! Anak ini!"

Namun tentu saja, teriakan sang umi teredam oleh hingar-bingarnya lagu pesta pernikahan. Umi tatap putrinya itu hingga benar-benar nampak mendudukkan diri di taman ujung sana. Aman. Setidaknya tak jauh, dan lagi, Safina nampak tak sendiri disana.

**

Safina meringis.

Ia lupa membawa minyak kayu putih. Ini sangat menyebalkan! Safina menarik napas dan berusaha menenangkan diri. Ditengah itu semua, Safina merasa seseorang memperhatikannya dari bangku seberang. Kedua bola mata Safina memicing.

Berusaha mempertajam indera penglihatannya.

Seseorang itu, lelaki.

Bermasker hitam, duduk seorang diri.

Awalnya ia berdua, namun sang teman lelaki yang juga bermasker ntah pergi kemana. Yah, setidaknya itulah yang sempat Safina tangkap. Walau tak terlalu jelas. Kini, kedua bola Safina bertubrukan intens dengan kedua bola mata sang pria. Benar-benar bertubrukan. Bak, terkunci.

Obsession of SafinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang