[41]

2.9K 287 32
                                    

"Cinta itu menyembuhkan. Bukan menyakiti."

**

Seminggu telah berlalu. Safina akhirnya tahu semua kebenaran. Alfad adalah kakak kandung yang berbeda ayah dengan dirinya. Dulu, umi pernah bercerai dikarenakan suatu masalah besar, dan kata cerai adalah satu-satunya solusi kala itu. Lalu Alfad diambil oleh ayah kandung Safina yang tak lain ialah Rafli. Dan bertahun-tahun terpisah tanpa tahu bahwa memiliki saudara itu, menyedihkan.

Safina sedih karena ia dan Alfad tak mungkin bersatu, namun dilain sisi Safina sungguh bersyukur karena semesta jadikan Alfad sebagai kakak tercintanya. Yang dapat ia sayangi dan melindunginya dengan segenap hati tanpa perasaan melebihi seorang adik. Safina mulai mengukir kembali senyuman. Sepulang sekolah tiga kali seminggu ini, ia sempatkan selalu untuk mengunjungi gramedia.

Tempat dimana Alfad berada.

Safina pun telah bertemu Rafli dan beberapa hari lalu dan tak kuat untuk tidak menangis. Ayah kandungnya selama ini, rupanya adalah orang yang ia anggap asing setiap kali mengunjungi gramedia. Ah, Safina sungguh ingin terus menangis akhir-akhir ini. Tangisan haru. Tangisan syukur. Dan lagi, kedua keluarga Safina dan Alfad luar biasanya dapat akur begitu mudah.

"Gimana festival yang katanya dari sebulan lalu itu? Belum digarap-garap juga kakak denger." Lalu lalang kendaraan dibawah langit biru sore, lebih tepatnya dibawah sebuah payung yang menjadi pelindung dari sinar mentari. Dibawahnya ada bangku memundar khusus untuk bersantai. Safina dan Alfad.

Alfad tertawa dan Safina cemberut. Aneh. Dapat senyaman ini. Tak ada lagi degup jantung yang begitu mengusik ataupun semu merah muda pada kedua pipi yang bermunculan malu-malu. Sungguh Allah Maha Membolak-balikkan hati, bisik Safina senang pada dirinya sendiri. "Sebenarnya itu udah mau digarap tau kak, tapi gegara satu lagi anggota dari kelas ipa satu yang ogah banget buat ikutan, padahal bakatnya itu jadi properti besar buat sekolah."

Safina teringat sosok Eland. Begitu dingin dan menjengkelkan. Ia diam saja, sudah menyebalkan bagi Safina. Suara tawa Alfad lagi-lagi terdengar. "Coba bujuk pakai hal yang ia sukai, Dek." Alfad memberi saran dengan embel-embel kata dek. Membuat Safina begitu menyayangi Alfad sebagai kakak kandungnya sekarang. Keduanya saling tersenyum. Safina pun ijin pamit. Jam telah menunjukkan pukul lima sore.

Safina mengarahkan motornya ke arah supermarket terlebih dahulu sebelum menuju rumah. Ia bermaksud ingin membeli beberapa kebutuhan seperti susu dan mie goreng. Safina memilah-milin belanjaannya. Saking asiknya ia tak sadar begitu mundur, menabrak punggung seseorang. Safina terkaget dan kekejutannya berkali lipat begitu tahu siapa yang kini ia dapati.

"Eland!?"

Eland pun nampak terkejut namun ekspresinya begitu mudah berubah drastis dalam hitungan detik. Eland hanya menatap Safina dingin dan bergumam, "untung lo cewe." Safina jengkel mendengarnya namun ia pun penasaran ada gerangan apa Eland berada di sini sekarang. "Kamu... belanja apa Land?" Safina berusaha mengintip isi belanjaan Eland di tas keranjang supermarket. Eland langsung menutupinya.

"Pergi sana."

Safina cemberut. "Oh, ya. Festival bentar lagi bakal dimulai, kamu yakin gak mau ikutan?" Kali ini, posisi badan Safina sepenuhnya menghadap Eland. Eland membuang muka. "Gue kira lo udah lupa soal itu." Safina tersenyum. "Gak kok. Jadi, kamu mau ikutan 'kan?" Safina tiba-tiba teringat solusi dari Alfad. Safina melirik jam tangannya. Jarum panjang berada pada angka lima. Masih ada waktu.

"Kalo kamu mau, aku bakal ajak kamu ke suatu tempat sekarang. Tempat yang bakal nginspirasi kamu." Safina tersenyum lembut dan Eland membenci satu fakta.

Mengapa degup jantungnya seketika meroket?

"Kemana?" tanya Eland tanpa ingin menatap bola mata Safina.

"Ikut aja. Ayo!"

**

Danau pegunungan.

Safina benar-benar membuat Eland ingin segera pergi karena Eland benci ketika hatinya menghangat melihat semua ini. Sebentar lagi senja akan menampakkan diri. "Sini, Land!" panggil Safina pada Eland yang berdiri tak berkutik memandang luasnya air biru kehijauan tersebut.

"Dulu aku sering main disini bareng umi waktu kecil. Mancing juga malah." Safina membuka bicara diiringi senyumnya yang tak dapat terhenti. Dan Eland tak tahu mengapa ia kini sepenuhnya terfokus pada Safina. Eland mengumpat. Sungguh, ia tak bisa menyangkal isi hati.

"Lalu?" Eland membuka suara. Tetap berlagak dingin meski hatinya sedari tadi panas-dingin. Safina berjalan semakin mendekati danau. "Mungkin kamu bakal dapat banyak inspirasi begitu ngelihat semua ini." Eland menatap pemandangan di sekitarnya. Sudah lama sekali ia tak merasakan atmosfer sedamai ini.

"Ayah angkatku pernah bilang, bahwa surga beratus kali lipat lebih indah dari semua ini. Jadi, aku ngelihat ini aja udah kek surga. Gimana dengan surga yang sesungguhnya?" Detik itu juga, Safina menoleh ke arah Eland dan bola mata keduanya saling bertubrukan. Namun dengan cepat Safina mengakhiri dan kembali berucap, "oh ya. Aku mau ngasih kembali barang kamu dari dulu. Untung aku selalu bawa di tas. Maaf, ya."

Safina merogoh isi tas sampingnya dan memberikan sebuah foto berukuran kecil pada Eland. "Bidadari kamu. Maaf baru bisa kasih kembali sekarang, ya." Dan respon Eland sungguh membuat Safina terkaget bukan kepalang. Air mata Eland, setetes mengalir. "Eland, kamu kenapa!?" Eland menggenggam erat-erat foto tersebut dan seketika berbalik arah. Berlari meninggalkan Safina seorang diri begitu saja.

"Eland... kenapa?" lirih Safina tak mengerti pada dirinya sendiri.















TBC

Obsession of SafinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang