[29]

4.2K 439 42
                                    

"Ada satu cinta yang kekal di dunia ini. Yang tak akan sirna meski diterkam waktu. Yang tak akan hilang meski ditinggalkan. Apa? Cinta Rabb-mu."

**

"Asila?"

Alfad yang baru saja berbenah untuk mengajar sebagai dosen ke kampusnya itu, dikejutkan dengan kehadiran sahabat cilik sekaligus cinta pertamanya semasa kecil dahulu. Berdiri dengan begitu anggun dan senyum semanis gula. Masih teduh. Seperti dulu. Dan semakin terlihat teduh, untuk sekarang.

"Assalamu'alaikkum Alfad." Alfad membalas senyum Asila dan menjawab salamnya. "Ada apa nih Sil? Sampai repot-repot dateng kesini." Asila tatap wajah Alfad sesaat yang begitu menenangkan hati. Benar-benar, secerah mentari. "Ada salam dari abi," jawab Asila sembari memberikan sebuah bungkusan plastik hitam. "Dan oleh-oleh dari Mekkah." Seketika Alfad terkejut sambil mengucap tasbih. "Udah lama gak komunikasi sama abi kamu Sil. Ya Allah... makasih banyak. Repot-repot. Udah jadi haji, Barokallah."

Asila tersenyum lebar, "iya. Santai aja. Kamu ini ah, 'kan kita udah kek keluarga. Oh, ya. Abi ntar malam mau ngajak dinner bareng. Sekalian ada hal penting yang mau disampein ke kamu. Datang ya." Sontak dahi Alfad mengernyit. "Ntar malam?" Lalu, Alfad teringat bahwa ia sudah berniat untuk mengunjungi Gisa di rumah sakit malam ini. "Maaf, aku gak bisa janji Sil. InsyaAllah." Sesaat, terdapat guratan kecewa dari wajah Asila tapi dengan cepat ia tersenyum tipis, "aku harap kamu datang. Yaudah, aku pamit dulu. Salam untuk orangtua kamu. Assalamualaikkum."

Alfad tatap kepergian Asila usai menjawab salam. Asila menaiki mobilnya sebelum akhirnya melemparkan lambaian tangan di jendela mobil sekaligus senyuman dan menutup kaca mobil sedan merah tersebut. Alfad menghela napas panjang. Lalu menaiki mobil avanza putihnya. Entah mengapa kini pikirannya berpusat pada Gisa.

Kalimat demi kalimat dari Adine menghantui pikirannya. Membuat benaknya penuh tentang Gisa. Gisa... menyukainya? Tapi bagaimana bisa? Selama Alfad mengajar sekaligus membimbingnya menjadi dosen, seingat Alfad, Gisa adalah mahasiswi cerdas yang disukai banyak lelaki. Selain cantik dan rada penutup, Gisa tidak muluk-muluk dalam hal pertemanan. Alfad tidak pernah berpikir bahwa Gisa menyukainya sedikitpun.

Dan satu hari lalu, ia diminta untuk menikahi Gisa. Dunia Alfad serasa jungkir balik. Fakta bahwa Gisa mengidap penyakit mematikan yaitu kanker otak, membuat Alfad semakin tidak bisa untuk tidak peduli. Alfad beristighfar dan segera menjalankan mobilnya. Membelah jalan raya ibukota dengan seribu pikiran tentang... jalan hidup yang dilukiskan Sang Pencipta.

**

"Akhir-akhir ini gue gak ngerti sama hubungan persahabatan kita. Makin hari makin burem. Kek masa depan." Suara Kiky memecah keheningan dalam ruang serba putih tersebut. Kiky menghela napas melihat sahabat dinginnya yang setia berdiam diri sejak tadi sembari memandangi luar jendela dengan tatapan hampa. Eland.

"Woi, squidward!" Kiky mulai kesal karena tak ada satupun respon dari Eland semenjak ia mengoceh lima belas menit lalu. "Apakabar sama David? Kita kita jadi jarang ngumpul lagi gegara kedatengan tuh cewek." Eland terkekeh hambar. "Kalo lo juga mau pergi, silahkan."

Kiky menatap tak percaya pada Eland, "What the hell, man! Ntar nih gue pergi kalo ditelpon bokap buat ke kantor." Lalu, Kiky ikut terkekeh kecil. Sontak Eland menoleh padanya dan melemparkan tatapan sedingin es. Kiky seketika bergidik. "Bukan pergi kek gitu yang gue maksud." Kiky mengangguk-angguk cepat. "Lo perlu pacar keknya nih, bro."

Eland mendengus. "Gue gak butuh siapa-siapa. Pergi dah lo. Tiap hari kesini mulu dikira gue warnet apa?" Tak elak, Kiky pun tertawa gembira. "Alhamdulillah ya Allah! Eland Wardana Putra akhirnya bisa ngelawak!" Lagi-lagi Eland berekspresi datar. "Oh ya, gue lupa nyampein sesuatu." Eland mengangkat sebelah alis bermaksud 'apa'?

"Nyokap lo. Dia bilang mau jenguk lo siang ini." Barulah ekspresi dingin Eland berubah. Ia tertawa keras. Bahkan sampai terbahak-bahak. "Apa? Jenguk gue? Gak tuli apa nih gue?" Kiky menatap iba pada Eland. Kiky jelas tahu permasalahan terbesar Eland di dunia ini. Kasih sayang keluarga. Terutama dari ibunya yang berstatus wanita malam.

"Seriusan gue. Dia yang bilang ke gue lewat telpon. Dia tau gue sering jenguk lo."

"Terus? Ha ha ha. Ngapain dia jenguk? Emang gue siapanya?"

"Dia nyokap lo, Bambang."

"Masih inget dia pernah ngelahirin gue? Lucu, lucu."

Eland tertawa hingga suaranya habis diakhiri dengan tepuk tangan ntah untuk apa. "Gue kira gue matipun dia gak peduli." Eland mengatur napasnya sejenak lalu, dalam hitungan detik, tatapannya kembali sedingin kutub utara. "Jangan pernah izinin dia datang kesini." Kiky pun melebarkan mulutnya. "What the-"

"Dan, tolong biarin gue sendirian sekarang." Potong Eland cepat pada kalimat Kiky. Kiky tak bisa berbuat apa-apa. Ia menurut dan keluar dari ruang Eland dengan sedih yang mengganjal. Ia yang seorang anak dari kedua orangtua kaya dan bahagia, tahu apa mengenai perasaan Eland?

Baru saja Kiky melangkahkan kakinya di lorong rumah sakit dengan setengah gontai, ia dapati pemandangan dimana seorang gadis yang ia kenal tengah beradu mulut sengit dengan seorang lelaki yang bukan lagi Kiky kenal. Melainkan, sangat, ia kenal. Keduanya nampak saling melemparkan sumpah serapah di depan sebuah pintu ruangan. Mengundang beberapa perhatian lalu lalang warga rumah sakit.

"Celia? David?"

**

"Libur kita tinggal sehari lagi lho, Na. Besok itu udah libur terakhir." Safina menatap kak Salsa setengah manyun, "ayolah, Kak. Aku janji InsyaAllah bisa nyelesein ni target naskah sebelum masuk sekolah. Tapi, izinin aku pergi dulu ya sekarang." Ekstrakulikuler kepenulisan ini tetap berjalan. Dan Safina akui, ia memang jarang aktif lagi. Tapi untuk hari ini, ia mendatangi sekolah dan izin kepada kak Salsa.

"Emangnya dirumah sakit siapa toh yang sakit?" Kak Salsa sibuk membaca naskah demi naskah bulan ini. "Temenku Kak. Kasian dia." Kak Salsa menatap Safina sesaat dan Safina seketika memasang wajah meminta belas kasih. Kak Salsa menahan tawa, "dasar. Yaudah sana. Ingat, target naskahmu. Jangan mentang-mentang udah jadi senior, seenak kentang." Safina terkekeh kecil dan berterima kasih.

Ia pun pergi dengan motor kesayangannya menuju rumah sakit. Apa kabar dengan David? David seolah hilang ditelan bumi. Dilain sisi, Safina bersyukur. Karena ia merasa David begitu hebat. Memberikan ia sedikit rasa trauma. Safina mengingat-ngingat ruang Eland kemarin. Disaat ia berjalan di lorong, ia lihat bubaran orang-orang. Seperti habis terjadi perkelahian saja. Safina tak ambil pusing. Ia pun tetap berjalan.

"David?" Seketika adrenalin Safina berpacu. Apa ia salah lihat? Barusan ada lelaki yang memasuki sebuah ruang dengan gaya dan tubuh yang sangat mirip dengan David. Safina menggeleng-gelengkan kepalanya cepat. Tidak. Tidak mungkin. Safina beristighfar dan bersiap memasuki kamar inap Eland.

Safina ketuk pintu dengan sopan, mengucap salam, dan membuka handle-nya. Hening. Dan hawa dingin seketika menjalari sekujur tubuh Safina. Kosong. Tak ada tanda keberadaan Eland. Dimana ia? Lalu, terdengar bunyi pintu baru dibuka. Lebih tepatnya, pintu dari toilet di dalam kamar tersebut.

Seketika Safina menoleh kaget. Dan kekagetannya berkali-kali lipat ketika melihat sosok lelaki datar itu yang hanya mengenakan sebuah handuk untuk menutupi tubuh bagian bawahnya. Memamerkan betapa sixpack-nya perut dan otot-otot tubuh itu.

"HUAAAA ASTAGHFIRULLAH!"














TBC

Obsession of SafinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang