"Saat dewasa nanti, janganlah menjadi manusia hebat. Tapi jadilah manusia bermanfaat."
**
Aroma ribuan buku menenangkan.
Tersusun rapi seakan membentuk kerajaan. Indah, elegan. Lelaki berumur kisaran dua puluh tahun itu, menghirup segar bagai candu. Pikirannya tiba-tiba saja melayang pada seorang gadis kecil berhijab. Gadis yang jelas ia tahu menyimpan perasaan padanya. Dan setiap kali mengingat hal itu, hatinya terasa sakit.
Sulit diakui, ia jatuh pada lembah arwana yang berbahaya.
"Alfad? Ngapain kamu ngelamun disini?"
Lelaki berkulit putih kecoklatan manis tersebut tersentak. Kembali tersadarkan dunia nyata. Ia menoleh pada sang papah yang baru saja menepuk bahu kanannya. Benar. Lelaki berparas tampan dan dewasa itu adalah, Alfad.
Muhammad Alfad Denandra.
"Nggak, Pah. Alfad lagi mikirin tugas-tugas kuliah. Numpuk, nih." Rafli -papah Alfad- tersenyum tipis. Ia jelas tahu sang anak sulung tengah berbohong. "Papah yakin kamu sedang memikirkan perempuan." Alfad kaget. Bagaimana papahnya bisa tahu?
Alfad mendehem dan bersungut, "Papah sok tau deh." Pandangannya kembali jatuh pada panaroma perkotaan di luar sana. Sebuah kaca tebal transparan menjadi penghalang dari ketinggian gedung tingkat tiga itu. "Papah juga pernah seperti kamu, lho." Sang papah kembali menggoda. Membuat Alfad mau tak mau merasa malu. Dan, nyaman.
Figur papah adalah pahlawan baginya.
Bahkan Alfad sangat bangga memiliki seorang papah yang mampu menjadikan buku sebagai mutiara dunia dan akhirat. Benar. Alfad adalah putra tunggal dari pemilik gedung gramedia Angkasa Raya.
"Jangan terlalu mencinta. Kamu akan jatuh. Kamu akan terluka." Suara tenang itu kembali mengaliri kedua telinga Alfad. Alfad menghela napas panjang."Alfad rasanya gila, Pah."
"Waduh, bahaya nih Papah punya anak gila. Mau ke rsj nggak? Biar aman." Alfad memasang ekspresi datar namun mengerucutkan bibir. Sang papah tergelak. "Memangnya kamu gila kenapa, hm?"
"Ada seorang gadis yang menyukai Alfad. Dan Alfad pun ingin menyukainya, tapi gak bisa Pah. Kami gak bisa bersama. Alfad takut kalau sampai juga menyukainya." Dada Alfad terasa sesak tatkala kembali terbayangkan sosok gadis berwajah kalem itu. Terdengar tawa gelak sang papah yang menyusul.
"Kenapa gak bisa bersama? Kalian satu bumi."
Alfad kembali menghela napas. Sementara langit beranjak menuju fana.
"Dia gadis baik dan manis. Dia pengunjung setia gramed ini." Sang papah tersenyum dengan tatapan ikut terfokus pada megahnya matahari di ufuk. Hening. Diam-diam, papah tersenyum tipis. Detik itu juga, adzan maghrib berkumandang. Beralun-alun bersama semilir angin senja."Ayok, sholat dulu," ajak Rafli pada anaknya. Rangkulan hangat terasa pada punggung Alfad seketika. Alfad mengangguk dengan senyum tipis. Meninggalkan bayang yang baru saja ia lukis pada awan-awan biru yang menipis di udara sana, bayang wajah seorang gadis bermata peri. Benar. Lelaki secerah mentari itu, adalah cinta dalam diam, dari seorang gadis SMA bernama Safina.
**
Safina terpekur usai melaksanakan ibadah sholat maghrib. Dalam aksara rindu yang bergelora, ia membaca surah Ar-Rahman, merasakan setiap desir cinta akan Tuhan dan Rasul-Nya. Beberapa kali, Safina tak fokus. Kembali terbayang dengan sosok David yang banyak menunjukkan gelagat aneh. Beristighfar, Safina tak ingin lemah. Tak ingin kalah.
Usai membaca kalam Allah yang Maha Romantis itu, Safina berdoa dalam khusyu'. Teruntuk kebahagiaan dunia dan akhirat. Teruntuk umi dan ayah, kedua bidadari dunia dan akhiratnya. Bidadari tak bersayap.
Beranjak menuju kasur untuk melaksanakan niat belajarnya, Safina lagi-lagi terpekur. Pandangan teduhnya jatuh pada setangkai mawar merah di atas meja rias. Memamerkan betapa mempesonanya ia dibaluti duri-duri nan mematikannya. Safina berjalan menuju mawar tersebut. Ia menghela napas panjang. Untuk kelima kalinya, Safina kembali membaca surat kecil yang terlampir bersama mawar tersebut.
Untuk: Safina....
Istirahatkanlah jiwa dan ragamu.
-D
Singkat. Dan memiliki banyak makna. Siapa pengirimnya? Ada inisial huruf D. Bolehkah Safina mengatakan itu adalah David? Meski nyatanya memamg begitu. David baru saja meng-chat Safina bahwa ia akan menerima sesuatu. Tapi, apa tujuan David yang kini berada di rumah sakit itu mengiriminya hal seperti ini?
Dan lagi, mengapa?
Untung sang umi tercinta tidak marah.
Ketika Safina menjelaskan perihal teror bunga dan surat itu. Safina berkata bahwa mungkin saja itu dari Arif. Safina tak berbohong. Ia belum yakin seratus persen itu dari David, sebelum melihatnya sendiri. Di tengah ramainya pikiran Safina yang berkecamuk, dering handphone-nya berbunyi.
Sebuah whatsapp dari Kak Salsa.
Isinya mengajak Safina untuk bertemu sekalian share tentang ilmu dan dunia kepenulisan. Jari-jemari Safina bergerak cepat, membalas chat Senior bijaknya itu. Dia juga ingin bercerita perihal David. Tentu saja.
Usai pamit dengan sang umi, Safina pun membelah jalan raya ibu kota Jakarta dengan scoopy putih andalannya. Ayah dan adiknya Wildan, tengah mengunjungi rumah sang nenek. Jadilah, dirumah hanya ada Safina dan uminya.
Safina melempar senyum teduh pada Kak Salsa yang nampak melambai-lambaikan tangan dari dalam warung favorit mereka itu. Warung nasi uduk. Safina pun berjalan memasuki warung tersebut. Dengan senyum yang tak kunjung pudar. Hingga sebuah pemandangan tepat di belakang punggung kak Salsa, membuat palu seolah bertalu di dada Safina.
Hanya bagian belakang punggungnya, tapi Safina jelas menghapal siapakah pemiliknya. "Kak... Alfad?" lirih Safina hampir tak bersuara. Sesaat, Safina terdiam dengan posisi berdiri. Bukan. Bukan itu yang membuatnya seolah kehilangan pasokan napas. Tapi seorang wanita cantik dalam balutan jilbab syar'i biru laut, yang tepat berhadapan dengan lelaki yang dikaguminya diam-diam itulah, yang mampu membuat hati Safina terasa teriris.
Hanya irisan tipis.
Tapi seorang Alfad, dalam tiga tahun Safina mengenal lelaki dewasa berparas tampan itu, tak pernah sekalipun Alfad pergi berduaan dengan seorang wanita. Apa itu, keluarganya? "Safina?" Panggilan kak Salsa membuat Safina terhenyak. Bergegas dengan rasa malu mendera, Safina menghampiri kak Salsa.
"Ah- anu, maaf kak." Safina terbata. Tidak. Mengapa hanya dengan kehadaran seorang Alfad begitu berefek baginya? "Kakak panggilan lho berkali-kali nggak nyaut. Yaudah, mau pesen apa nih?" Safina tersenyum. Lebih mirip cengiran.
Tapi semua itu pudar, ketika Safina dengan teramat jelas mendengar suara wanita itu. Suara wanita berjilbab anggun, yang tepat berada di hadapan lelaki yang dengan jelas membelakangi Safina.
"Fad... jadi, gimana? Kapan soal lamaran itu?
TBC

KAMU SEDANG MEMBACA
Obsession of Safina
RomanceRomance - Teenfiction - Religi [TELAH DITERBITKAN] Akankah obsesiku membawaku untuk mencintai Tuhanmu dan Tuhanku? Aku cemburu kepada-Nya. Karena cintamu, sepenuhnya tertuju untuk-Nya. Aku ingin, merasakan cinta itu. Mendambamu, sedemikian dalam. Ma...