[35]

4K 408 64
                                        

"Kenapa ya kamu belum merasa bahagia? Jawabannya simpel. Karena kamu kurang bersyukur."

**

"Lho? Gak ikut ke acara pertunangan David lo?" Lelaki yang tengah memainkan gitar milik Kiky dengan nada tak fokus itu, menggeleng pelan. "Gue tiba-tiba gak mud. Lo aja deh. Bilang aja gue sakit." Kiky berdecak sambil ikut duduk di sisi lelaki berwatak dingin itu. Benar. Eland. "Lo ada masalah, sat?" Eland diam. "Gue rasa ada yang aneh sama diri gue."

"Maksud lo?"

"Gue cabut."

Eland tiba-tiba bangun dari duduknya, meletakkan gitar milik Kiky, dan berjalan keluar dari rumah Kiky dengan langkah tergesa-gesa namun berirama tegas. Tanpa sepatah katapun. "Kemana lo woi!?" seru Kiky tak mengerti lagi ada apa dengan sosok sahabatnya yang satu itu. Padahal mereka berdua sudah siap dalam balutan jas hitam elegan yang membuat keduanya semakin terlihat rupawan.

Eland memang berjalan dalam diam. Namun pikirannya penuh akan satu sesuatu. Sesuatu yang ntah sejak kapan mulai mengusik pribadi dinginnya. Dan jujur saja, Eland begitu membenci apa yang kini ia rasakan. Sangat, benci. Eland menaiki motor ninjanya dan membelah jalan ibu kota dengan napas perlahan memburu.

Hingga kitaran lima belas menit, sampailah Eland di depan sebuah bangunan bermandikan gemerlapnya lampu malam. Eland memasuki bar tersebut dengan sorot mata datar. Pandangannya mengedar ke berbagai sudut. Hingga akhirnya ia menemukan gadis yang tengah ia cari. Eland mendekati gadis itu dengan berdecak. "Lo ngapain di sini?" Gadis itu nampak terkejut melihat kehadiran Eland.

Namun seolah dapat menduga Eland pasti akan mencarinya, gadis itu tak kuasa lagi untuk tidak memeluk Eland. "Inget. Lo bakal tunangan. Lo ngapain di sini, Celia?" ulang Eland dengan nada lebih tajam. Celia memeluk Eland semakin erat. "Gue sayangnya sama lo, Land. Lo tau. Dari dulu gue sukanya sama lo. Gue gak mau ditunangin sama David. Dia berubah, Land. Dia bukan David yang gue kenal." Eland melepas pelukan Celia dengan tegas.

"Lo salah. Kita semua yang berubah di sini. Jadi daripada lo buat kehebohan gegara ilang tiba-tiba, sekarang lo gue anter." Eland menarik lengan Celia keluar bar. Menghentikan pelarian Celia yang sedari tadi meracau dan menari begitu kacau. Sesampainya diluar bar, Celia menghempaskan tangan Eland dan berucap lirih, "tolong... gue mau minta satu hal. Tolong." Eland terpaku.

Celia mengucapkan kata tolong dan itu sebuah hal yang terasa tak mungkin. "Apa?" Eland menyelipkan kedua telapak tangannya ke dalam saku celana hitam yang ia kenakan. Celia menunduk dan mengangkat wajahnya dengan kedua bola mata berkaca-kaca. "Tolong... bilang kalo gue masih orang yang berarti dalam hidup lo. Tolong bilang kalau lo sayang gue, meski itu kebohongan."

Eland mengacak rambut Celia tiba-tiba dan menatap sahabat kecilnya itu dengan setitik kehangatan. Melihat bola mata Eland, air mata Celia pun menetes. Celia memeluk Eland kembali dan menangis sejadi-jadinya. "Jangan alay. Lo bukan nikah." Celia mengerucut kesal. "Walau begitu, tetap aja lo gamau nikah sama gue 'kan?" Eland diam. Dia masih memikirkan satu sesuatu itu.

"Gue sayang lo." tutur Eland mengabulkan permintaan Celia.

"Lo... becanda?"

"Gak. Gue sayang lo. Sebagai sahabat."

Dan Celia tertawa sambil kembali menangis. Melepas pelukannya dan meninju perut Eland kuat-kuat. "Sialan lo. Gue udah baper." Eland meringis sambil menahan tawa. "Ayo, lo harus terima takdir." Dan sepanjang perjalanan mengantarkan kembali sosok Celia pada David, Eland tetap tak bisa mengabaikan sedetikpun tentang satu hal ini.

Mengapa ia terus memikirkan Safina?





TBC

Ada yang kangen?

Sebulan lebih Vin gak update. Wkwk.

Sekali update eh pendek*plakk

Obsession of SafinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang