[32]

3.5K 430 63
                                    

"Menangislah. Hatimu rapuh. Tapi tetaplah kuat disaat bersamaan. Kau tak sendiri. Kau punya Allah. Ok?"

**

"Lucu. Aku gak ngerti kenapa malah jadi datengin kamu. Eh? 'Kan aku emang niat ngejengukin kamu lagi malam ini. Ehehe. Maaf ngenganggu." Eland menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Walaupun jelas ia malas berurusan kembali dengan gadis berhijab ungu manis ini, di lain sisi Eland pun penasaran apa sebab wajah itu kini terlihat tak secerah biasanya.

Waktu menunjukkan pukul tujuh malam. Hawa terasa kian dingin. Apalagi lantai-lantai rumah sakit yang juga seakan menebar aroma obat-obatan. Hening. Safina meremas kedua tangannya dalam diam. Benar. Gadis yang kini duduk di dalam ruang inap Eland sedari lima menit lalu itu adalah, Safina. "Orangtua kamu... sudah datang?" Wajah molek Safina terangkat. Eland mendengus cepat.

"Mereka pernah datang, tapi gue tolak." jawab Eland datar. Tak ada ekspresi apapun pada wajah tampannya. Safina mengernyit perlahan. "Lalu, bagaimana dengan David? Sudah bertemu dengannya?" Eland tersenyum miring. "Bahkan gue ragu apa dia masih ingat sama gue." Lalu, seakan teringat sesuatu, Eland melanjutkan bicaranya dengan nada tetap. Datar. Namun pancaran di kedua bola matanya nampak berbeda.

"Lo tau... kabar terbaru tentang David?"

"Apa?"

"Dia bakal tunangan. Lo... pasti tau 'kan?"

Sontak, kedua bola mata Safina membesar. Berita apa lagi ini? Jujur saja, Safina serasa disambar petir mendengarnya. Melihat respon Safina, Eland terkekeh tanpa suara, "ok, ralat. Lo gak tau apa-apa." Safina menyipitkan mata penuh selidik. Entah kenapa ia jadi lupa akan rasa sakit hatinya pada Alfad. "David bakal tunangan?" Eland mengangguk malas, "ya. Gue denger sih gitu."

Safina menegakkan posisi duduknya, "sama?" Sebelah alis Eland terangkat, dilengkapi dengan senyuman miringnya, sebelum kemudian ia berucap, "lo cemburu?" Safina menggelengkan kepala sepersekian detik dan menjawab, "gak. Aku cuma pingen tau." Eland mangut-mangut tak peduli. "Sama siapa Eland?" Safina meninggikan volume suaranya. Agak jengkel melihat mimik wajah Eland yang seakan mengejek bahwa ia tak cemburu.

"Sama Celia. Sahabatnya dari kecil." Safina mengeja satu nama itu teramat pelan. Celia... Safina tak pernah tahu nama tersebut. "Kenapa mereka tunangan?" Eland bangun dari posisi duduknya dan meregangkan tulang-tulang ototnya. "Kepo ya?" Safina manyun sebal. Menghadapi lelaki tipe seperti Eland memang butuh kesabaran ekstra. "Ya. Aku kepo." aku Safina malas berdebat.

"Gue laper." Eland berjalan santai menuju sebuah koper tas hitamnya. "Mau kemana?" Safina terheran-heran ketika mendapati Eland yang malah merangkul ransel tersebut dan meminum seteguk aqua setelahnya. "Mau cabut." Alhasil Safina seketika terbangun dari posisi duduknya. "Kamu mau pulang?" Eland membuang botol aqua tersebut di tong sampah, "yoi."

"Emang boleh pulang?" Jujur saja, Eland gemas sendiri dengan sosok Safina yang banyak bertanya ini itu. Ingin sekali rasanya Eland mencubit hidung gadis berhijab itu hingga ia mengaduh kesakitan dan berhenti berbicara. "Malam ini emang waktunya gue pulang. Tapi ada kucing penganggu sih." sindir Eland yang dihadiahi cibiran kesal dari Safina. "Soal biaya rumah sakit segala macam?" Eland mengkode Safina untuk keluar dari ruang inapnya. Disusul dengan Eland yang menutup pintu menuju keluar, "ada orang baik."

Obsession of SafinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang