[11]

6.5K 601 43
                                    

"Semesta bertasbih. Dengan cinta yang menari dalam abadi. Yaitu, cinta pada Sang Kekasih."

**

"Sial, dimana kalung itu!?"

Eland merasa hampir tak waras sekarang. Keadaan kamarnya kini benar-benar kacau layaknya kapal pecah. Eland mengacak rambut frustasi dan mengusap kasar wajahnya.

"Gak! Gak boleh! Kalung itu gak boleh hilang!" desis Eland parau berulang kali pada dirinya sendiri. Seperti kehilangan kendali. "Sayang! Ada apa?" Ntah datang darimana, seorang gadis yang hanya berbalutkan baju berdada rendah datang dan berdiri di ambang pintu kamar Eland. Menatap lelaki tampan itu dengan bingung sekaligus khawatir.

"Brengsek! Gue bunuh orangnya kalo sampe dapet!" umpat Eland dingin yang kini mencari-cari di laci lemarinya seperti orang gila. Mengacuhkan gadis berlekuk tubuh seksi tersebut.

"Eland aku-"

"Lo bisa diam gak, sih?"

Secepat kilat Eland lemparkan tatapan dingin membunuh pada gadis tersebut. Lebih tepatnya, salah satu mainannya. Celia. Gadis itu bernama Celia Anggraeni Zafran. Celia nampak kesal diperlakukan Eland seperti itu.

"Mencari sesuatu?" Celia berjalan ke arah Eland, Eland hanya diam tak menggubris. Celia memeluk Eland dari belakang tiba-tiba dan detik itu juga Eland menghindar dengan paksa.

"Keluar," sergah Eland dingin, lagi, berusaha meredam emosinya. "Kamu bahkan nggak nanya kenapa aku kesini, Land! Kamu bahkan nggak peduli!" Celia berteriak, menahan air matanya yang memberontak ingin keluar. Rasanya sakit diperlakukan seperti ini walau nyatanya, Eland telah melakukan hal seperti ini berulang kali.

Melukai Celia dengan sikap dinginnya.

Eland terdiam beberapa saat hingga akhirnya menyeringai.

"Emang. Sejak kapan gue peduli sama lo?"

Berhasil. Jiwa Celia terasa hancur. Harusnya ia sadar, hanya ia yang berharap dan berjuang disini. Sedang Eland? Lelaki itu hanya senang bermain-main dengan hati dan juga, tubuhnya. "Besok aku pindah." Celia tetap ingin memperjelas tujuannya kemari. Bukan sekedar untuk mengobral diri, seperti biasanya.

"Terus?" Eland bersuara tanpa minat. Dan menutup pintu lemarinya kasar. Sial. Pasti kalung itu hilang di suatu tempat. Yang jelas bukan di dalam apartemennya. Eland duduk di pinggir ranjang dan memijit pelipisnya sambil memejamkan mata.

Bahkan dalam hitungan detik, Eland sudah melupakan keberadaan Celia yang masih di posisi sejak ia menahan tangis. Berdiri. Di sisi kanan Eland.

"Gue pindah ke sekolah lo."

Kali ini, Celia berhasil mendapatkan perhatian Eland sepenuhnya. Apalagi kosa kata aku-kamu yang telah berganti gue-lo.

"Terus?" Salah. Eland tetap tak peduli.

"Eland ingat! Gue pacar lo-"

"Simpanan. Sejak kapan gue punya pacar?"

Celia memandang Eland tak percaya. Apa? Jadi... selama ini? Tamparan melayang pada wajah Eland. Memecah heningnya dingin tengah malam. Eland memegang pipinya yang sehabis ditampar. Sudut bibirnya terangkat dan dalam hitungan detik, Eland mendorong tubuh Celia hingga mendempet lemari.

"Harusnya sebelum berhubungan sama gue, lo jadiin kalimat ini prinsip lo. Dari awal, lo bukan siapa-siapa gue. Begitu pula sebaliknya," bisik Eland dingin menusuk. Tubuh Celia terasa lemas. Hingga ia terduduk tak berdaya. Kedua bola matanya terlihat berkaca-kaca.

"David... David." Tiba-tiba Celia berucap satu nama begitu lirih. Hampir menyerupai bisikan. Namun Eland mampu mendengarnya. "Gue gak cinta sama David... gue gak mau tunangan sama dia. Gue-" Celia menggantungkan kalimatnya dan menatap Eland dengan pancaran keputus-asaannya, "gue cintanya sama lo, Land." Eland tak menunjukkan ekspresi apapun.

Ia sudah tahu sebelumnya dari cerita David sendiri. Bahwa David akan dijodohkan dengan Celia, yang predikat putri tunggal dari sahabat ayahnya. Tapi baik David maupun Celia, keduanya saling tak tertarik. Dan Celia, ia sendiri sudah lama jatuh hati pada Eland jauh sebelum mengenal sosok David.

"Cinta? Jijik gue dengernya." Selalu. Selalu kalimat itu yang dilontarkan Eland setiap kali Celia mengutarakan perasaannya. Membunuh Celia secara perlahan. Mempermainkan batinnya secara bertahap.

"Silahkan cinta sama gue. Tapi jangan harap gue bales perasaan lo."

Eland berjalan tegap menuju pintu kamarnya, hingga langkah kakinya terhenti diambang pintu, dan sekali lagi, melemparkan kalimat racun yang mengerikan bagi Celia.

"Hati gue udah lama gak percaya hal menggelikan seperti itu. Cari cowok lain."

Dan Eland, meninggalkan Celia seorang diri. Isak tangis mulai terdengar samar.
Diantara semilir angin malam dan hati-hati yang kian memaki diri sendiri.

**

Dipeluk malam dan rembulan,

Lelaki itu tertunduk seorang diri. Kedua matanya terpejam erat. Sepi. Dan rasanya, benda yang bernama hati telah mati. Namun, apa maksud Tuhan datangkan ia seorang bidadari? David, menghela napas. Benar. Lelaki yang menyendiri di ruang inapnya itu, mengusap wajah kasar, adalah David.

Jam di dinding menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Tapi tak ada tanda-tanda kedua matanya ingin terpejam ke alam mimpi. Safina, adalah sosok asing yang begitu cepat menjadi bagian hati yang penting. Eland benar. Sepertinya, ia terobsesi. Tapi, apa peduli?

Sedetik, sudut bibir David terangkat.

**

Matahari mulai memamerkan cahaya kemilaunya pukul tujuh pagi ini. Sepanjang perjalanan menuju sekolah, hati Safina terasa tenteram. Rasanya pohon-pohon di sepanjang tepi jalan, ikut bertasbih dengannya. Ataupun para burung yang mengangkasa ria.

Subhanallah... Maha Suci Allah.

Subhanallah... Subhanallah.

Seusai memarkirkan motor, Safina berjalan tenang menelusuri halaman sekolahnya yang luas. Safina berjalan menuju ruang Blue Writer. Sebelum menuju kelasnya, ia bermaksud untuk mengecek naskah milik para anggota baru terlebih dahulu.

Keadaan sekolah sudah aktif. Koridor ramai oleh lalu lalang penghuni SMA Garuda Jaya. Mulai dari para murid hingga tukang kebun dan bersih-bersih sekolah. Namun, tidak dengan koridor menuju ruang Blue Writer yang minimalis cantik itu. Sepi. Tapi, ini toh pagi. Safina berjalan cepat. Takut jika bel masuk kelas akan berbunyi.

Safina berjalan tergesa-gesa. Sejujurnya saat di dalam ruang Blue Writer tadi, Safina merasa ada yang menatapnya begitu intens. Namun Safina berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu hanya perasaannya. Saking tak menentunya arah jalan Safina, ia sampai menabrak seseorang secara tak sadar.

"Ma- maaf!" Safina termundur dan sedikit menunduk tanda permisi.

"Lo, yang nyuri kalung gue?"

Suara dingin menusuk itu... oh, tidak.

Safina mengangkat wajahnya secepat kilat dan, tatapan dingin tanpa minat itu, kembali menyambutnya.

"E- Eland!?"








TBC

Obsession of SafinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang