"Topeng. Lo gak pernah tau 'kan sejak kapan gue pake topeng sialan ini?"
**
Rembulan bersinar redup.
Sedang bintang-bintang, nampak malu untuk memamerkan keindahan mereka malam ini. "Mau sampe kapan lo disini?"
Lelaki yang tengah asik duduk menyendiri di salah satu bangku taman rumah sakit itu seketika menoleh cepat. Terhenyak saat sebuah suara terdengar. Suara yang ia hapal mati siapa pemiliknya."Ngagetin aja lo, nying," balas David kesal. Benar. Lelaki yang kini membenarkan posisi duduk dengan sebuah aqua di tangan kanannya itu adalah David. Eland hanya mengangkat sebelah alis, acuh.
"Tumben."
"Apa?"
"Kagak ke club," balas David tergelak kecil.
Eland tersenyum miring.
"Gak ada lo. Gak asik."
Kali ini David mendengus, "geli gue bangsat." Pukul delapan malam. Dan keduanya tidak ada di bar malioboro sekarang?
Wow, sebuah hal yang sangat langka.
"Kiky mana?" tanya David sambil menatap pemandangan danau indah berukuran kecil milik rumah sakit.
Eland mengangkat bahu acuh, "biasalah. Jadi babunya si Ani. Pergi ke mall." David menahan tawa. Ngenes sekali nasib sohibnya yang satu itu, pikir David."Vid, gue mau ngomong serius," seloroh Eland dengan nada sulit diartikan setelah beberapa detik hanya ada hening. Sepi, dingin. David menatap Eland heran detik itu juga. "Ngomong aja kali, lo nggak usah sok serius gitu." Sudut bibir David terangkat. Sudah lama sekali ia tidak berbincang-bincang dengan Eland. Seperti ini.
"Lo, suka si Safina itu?"
Begitu mendengar nama Safina, seketika detak jantung David berlomba tanpa Eland ketahui. David tersenyum lebar begitu saja. Lalu mengangguk cepat. Tampak tak ingin menampik sama sekali. "Dia manis dan baik." tutur David masih dengan tersenyum. Sedang Eland mendengus dingin.
"Gue kasih tau sebelum terlambat. Cinta, cuma buat lo lemah. Cinta, cuma buat lo mati. Oh ayolah David, wanita, mereka hanya permainan. Jangan mau lo yang dimainin sama mereka. Sama boneka!" Nada Eland menaik satu oktaf di akhir kalimat tiba-tiba.
Eland hanya tak ingin, sahabatnya akan terluka karena wanita. Suatu saat nanti. Tak peduli bahkan jika itu wanita sebaik Safina. Eland tak peduli. Wanita itu boneka. Mainan. Tak berhak untuk menyakiti. Merekalah yang pantas untuk disakiti. Itu, prinsip kokoh Eland. Sejak dulu.
"Penasaran apa yang gue pikirin pas pertama kali liat dia?" tanya David tiba-tiba. Eland tak merespon. Namun sorot matanya, terselip rasa ingin tahu. David tersenyum tipis. "Gue mau milikin dia," lirih David pelan. Sorot bola mata hazelnya, terlihat mengkilat.
"Puas? Gue mau tidur."
Seketika kedua alis Eland mengernyit. David baru saja ingin berbalik badan meninggalkan Eland namun, ucapan yang meluncur dari mulut Eland mampu membatalkan niatnya.
"Karma."
Lebih mirip desisan. Betapa mudahnya seorang Eland mengganti ekspresi dalam sepersekian detik. Tadi, sedatar datar-datarnya. Kini, dingin hingga menusuk.
"Maksud?" tanya David tak mengerti.
"Safina itu, karma lo. Terserah mau percaya atau gak. Karma gue? Tenang. Gue udah dapetin." Eland menyeringai dalam. Dengan tatapan tenangnya, seorang Eland terlihat kian mengerikan.
"Gue gak ngerti lo bilang apa."
"Lo, gak bakal bisa miliki Safina."
"Sialan!" Ntah ada setan apa, bogem mentah pun telah mendarat dengan sempurna tepat di pelipis Eland. Sungguh. Rasanya begitu perih dan, berdarah. Ketika Eland mengucapkan kalimat sialan itu. Eland termundur beberapa langkah sambil memegangi pelipisnya. Cukup nyeri.
"Gak percaya?" Eland tersenyum mengejek.
"Cukup satu pukulan. Gue capek kelahi untuk sekarang."
"Lemah lo."
"Lo mau rebut Safina?" David ikut beraura dingin kali ini. Bola mata hazelnya, menggelap dalam hitungan detik.
"Selo, Vid. Selera gue gak serendah itu."
"Busuk lo!"
Eland menyeringai. Lagi.
"Lo kenal gue. Gue cuma mau ngingetin sebelum lo jatuh lebih dalem."
David diam. Berusaha meredam amarahnya dengan memejamkan mata erat, sekarang. Sedang kedua tangannya pun ikut terkepal erat. Sebenarnya, ada apa dengan Eland malam ini? Mengapa... sosok Eland terasa jauh bagi David? Padahal sedari SMP, tak pernah Eland terasa seperti ini.
Eland, bagai orang asing.
"Mending gue bunuh diri daripada jatuh cinta. Daripada kek lo," desis Eland dingin. Pandangannya nampak menerawang jauh. David masih diam. Sungguh. Ia tak ingin berkelahi dengan Eland. Tapi David menyadari satu hal, ada yang berusaha Eland sampaikan malam ini. Lima tahun bersahabat dengan Eland, tak pernah David melihat Eland seasing malam ini.
Eland, memang dingin. Ia irit bicara dan tertawa. Ia cerdas tapi tak menyukai sosialitas. Ia populer tapi tak tersentuh. Dan juga, player. Dari dulu, Eland memiliki banyak pacar bahkan simpanan. Memainkan mereka sesuka hati dan kapan saja. Eland adalah sosok sempurna si peluka.
Dan selama itulah,
David tidak pernah tahu alasan mengapa Eland tak pernah jatuh cinta.
Lebih tepatnya, tak ingin menjatuhkan hati. Sangat tidak ingin. Dan sangat suka memainkan wanita. Yang David tahu, Eland melakukan itu semua hanya untuk bersenang-senang. Tapi malam ini, dengan raut wajah yang tak pernah seumur hidup David lihat dari Eland, lelaki dingin berparas tampan itu berucap datar dengan mata memerah seakan terluka.
"Sebelum gue cabut, lo... mau tau satu rahasia gak? Kenapa gue gak sudi jatuhin hati ke cewe?" Belum David menjawab, Eland sudah tertawa keras. Lagi. David menatap Eland tak percaya.
Dia, benar-benar bukan Eland yang David kenal."Nyokap gue, pelacur."
Tidak. Tidak mungkin.
Dan Eland, masih tertawa keras.
"Lo denger itu? Nyokap gue pelacur." Demi apa, David merintih dalam hati ketika menyadari ada setetes air mata di tengah tawa kosong milik Eland.
David salah.
Malam inilah,
ia baru mengenal Eland yang sebenarnya.
TBC
Maafkeun kujatuh cinta sama Eland😭
KAMU SEDANG MEMBACA
Obsession of Safina
RomanceRomance - Teenfiction - Religi [TELAH DITERBITKAN] Akankah obsesiku membawaku untuk mencintai Tuhanmu dan Tuhanku? Aku cemburu kepada-Nya. Karena cintamu, sepenuhnya tertuju untuk-Nya. Aku ingin, merasakan cinta itu. Mendambamu, sedemikian dalam. Ma...