50. Matheo

12.2K 1.6K 900
                                    

"Papa."

Mr. Ken, pria 62 tahun itu mengangkat pandangannya. Terjatuh langsung pada putranya yang dibanjiri keringat datang menghampirinya yang duduk di dalam kantor polisi sambil tergopoh-gopoh.

Mr. Ken berdiri dari duduknya, ada gurat khawatir yang terpancar untuk sang putra bungsu.

"Papa gak pa-pa?"

"Gak pa-pa, mereka cuma minta keterangan Papa aja tadi. Aka, lebih baik sekarang kamu cepat masuk ke dalam. Kamu udah ditunggu polisi."

Dengan susah payah Araka menelan ludahnya, meski bukan yang pertama kali tetap saja semua hal ini membuatnya takut. "Ta-tapi ...."

"Kamu gak perlu takut, Papa udah telfon papanya Rey dan beliau siap bantu kita. Kamu tinggal jalanin tes kayak dulu lagi, jawab semua pertanyaan petugasnya sejujur mungkin. Jangan khawatir, ada papanya Rey di dalam yang siap bantu kamu."

Araka menghembuskan napas pendek, menoleh ke belakang sebentar. "Papa, minta tolong jagain Bebeb, ya. Dia ketiduran di mobil."

"Nanti Papa suruh supir buat nganter dia pulang, kamu masuk dulu."

Araka mengangguk patuh. Ia masuk ke dalam ruangan yang minim ventilasi itu, begitu hawa mencekam menyapanya ia mendapati seorang pria berbadan tegap tengah menunggunya bersama beberapa aparatur negara yang tak berseragam, satu di antara mereka duduk di depan komputer.

Pria itu, Hermansyah Levinson, seorang pengacara handal yang dipanggilkan papanya mendongak setelah sibuk dengan beberapa berkas di atas meja, mengukir senyuman hangat padanya. Sekilas Araka menangkap bayangan Celia saat melihat senyuman itu. Dia, papa tirinya Rey. Seorang pengacara yang juga pernah membantunya beberapa waktu lalu untuk bebas dari sini.

"Ar," sambutnya tersenyum formal, membuat Araka terkesiap. "Om sudah nunggu kamu, sekarang kamu masuk ke pintu sana dan jalanin tesnya dulu. Nanti kami interogasi kamu di sini, tenang aja, Mr. Ken udah ngomong sama Om buat bantu kamu."

Araka merasa deja vu, ia pernah mendatangi tempat ini beberapa waktu lalu. Tepatnya saat ditemukannya obat terlarang di tasnya saat pemeriksaan dulu. Semoga saja kali ini tidak separah dulu.

"Tes urine, 'kan, Om?" tanya Araka memastikan.

Pengacara Hermansyah mengangguk ringan. "Iyap, urine kamu akan diambil sampelnya dan diuji apakah kamu positif mengkonsumsi obat itu atau tidak. Mau Om bantu ambil sampelnya?"

Araka melotot. "Eh, jangan, Om!" paniknya segera menutupi bagian sensitifnya. Berjalan cepat menuju ruangan yang telah disediakan bersama beberapa petugas yang mengikutinya dari belakang. Di dalam pun sudah ada beberapa orang berpakaian medis yang menunggunya.

Syukur-syukur mereka melakukan tes padanya dulu sebelum asal menjebloskannya ke penjara karena kasus kepemilikan obat itu —yang belum tahu apa benar begitu faktanya. Mungkin para petugas di sini tahu siapa Mr. Ken dan siapa pengacara yang dipanggilkan khusus untuk menangani bocah ingusan sepertinya. Dua pria itu begitu berpengaruh, nama mereka bahkan dikenal di kalangan pejabat dan antek-anteknya.

Sekitar 15 menit Araka menjalani pemeriksaan, kini ia duduk di ruangan yang tadi disinggahi papanya Rey. Duduk dengan gusar di kursi besi yang terasa begitu dingin di depan seorang petugas yang terhalang meja komputer.

Hawa di sini begitu mencekam dengan tatapan mengintimidasi petugas di depannya, seolah senyuman menawan yang pengacaranya pancarkan tidak berpengaruh sama sekali. Araka ingin kabur saja.

Ada sekitar 20 pertanyaan yang diajukan pada Araka, mereka menginterogasinya begitu ketat dan sangat selektif. Dari pertanyaan satu menyambung ke pertanyaan lainnya, hingga tak terasa interogasi itu berlanjut hingga matahari mulai menampakan diri.

MY STARBOY ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang