Prolog

91.4K 4K 158
                                    

Ranaya, si gadis manis pemilik tubuh ideal terlihat murung. Duduk di salah satu meja kafe kecil pinggiran kota. Udara yang lumayan dingin mengharuskannya memesan cokelat panas yang kini tersaji di depannya.

Di tangan gadis itu, kertas kusut yang entah sudah berapa kali dia lipat bertengger di sela jarinya. Surat perjanjian kontrak. Tujuan diserahkannya surat ini sangat bertentangan dengan pantangannya selama ini.

Ranaya gadis yang mandiri dan berprinsip kuat. Ia takkan membiarkan sesuatu yang ia jaga selama hidupnya ... direnggut dengan alasan terpaksa. Namun, agaknya prinsip itu tidak akan berlaku lagi. Mengingat ia harus melanggar salah satu prinsipnya demi menandatangani surat kontrak di tangannya ini.

Bel yang terpasang di atas pintu kafe berdenting, menandakan pelanggan masuk. Ranaya melambaikan tangannya, memberi isyarat pada orang yang memang ia niatkan untuk bertemu sore ini.

"Sorry lama, ya. Biasa, Jakarta langganan macet." Freya, teman lama Ranaya saat masa SMP berkata sambil meletakkan tas selempangnya di atas meja.

Ranaya tersenyum kecil. "Gak pa-pa. Gue juga baru dateng."

Freya membusungkan badannya ke depan. Bertumpu siku di meja. Pakaiannya yang berpotongan rendah membuat belahan dadanya terpampang. "Jadi gimana sama tawaran gue? Udah lo terima?"

Ranaya mendengkus risih. "Bisa gak lo pakai baju yang lebih sopan dikit?"

Freya menyengir seakan tak merasakan dosa. "Ini udah jadi pekerjaan gue sekarang, yang sebentar lagi ... bakal jadi pekerjaan lo juga."

Mendengar itu, Ranaya terdiam kaku. Pikirannya kembali terlempar ke genangan penuh bimbang. Perihal sesuatu dalam surat sialan yang sayangnya Ranaya butuhkan ini.

"Jadi? Lo udah setuju, 'kan?" tanya Freya lagi. Melanjutkan topik yang dibahas di aplikasi chat sebelum ia datang ke mari sesuai janji.

"Gue masih bingung, Fer."

"Emang lo masih mikirin apa?"

"Nyokap gue."

Freya tersenyum, lembut sekali, menggenggam tangan Ranaya di atas meja. "Dengerin gue, Nay. Yang mau lo lakuin ini juga demi nyokap lo."

"Tapi gak gini juga."

"Emang lo punya cara lain?"

Ranaya bungkam.

Freya kembali melanjutkan. "Gue tau apa yang lo pikirin. Dulu, gue juga ngerasain hal yang sama kayak lo. Pasti berat, ya? Tapi kita ini orang gak mampu, Ranaya. Mau gak mau kita harus lakuin ini. Mungkin ini buruk, tapi kita gak punya pilihan."

"Kalau nyokap gue sampai tau gimana?"

Freya mempererat genggamannya. "Itu kita pikir belakangan. Yang terpenting, lo harus dapet uangnya secepatnya. Waktu lo gak lama lagi, Nay."

Ranaya memejamkan mata. Demi Mama.

"Gue bakal selalu ada di buat lo. Lo bisa kontak gue kapanpun lo butuh." Freya berusaha meyakinkan dengan senyuman manisnya. "Kita bakal hadapin ini. Kita buat mama lo sembuh sama-sama. Oke?"

Ranaya mengangguk lemah. Masih terlihat tidak yakin dengan itu.

"Jadi, keputusan lo?"

"Gue ... gue bakal hubungi lo lagi kalau gue siap."

Freya mengangguk, dia mengerti. "Gue harap lo pikirin ini mateng-mateng. Cuma ini cara terbaik di antara kesempatan sempit yang lo punya. Yakin sama gue, ini pasti berhasil."

Raut wajah Ranaya tak kunjung menampakkan kelegaan. Walau ia sudah mengantongi dukungan penuh dari teman baiknya. Hatinya terus berteriak 'jangan' namun pikirannya berseru menyuruhnya maju. Membuat Ranaya tak punya pilihan lain selain mengikuti apa yang dikatakan akalnya. Kini, sisi logikanya berbicara.

***

Jam di dinding telah menunjuk pukul setengah tujuh pagi, di mana Jakarta telah ramai dengan akitivitas penghuninya. Orang-orang berlalu lalang mengejar kesibukan demi pundi-pundi rupiah. Tampak sibuk seolah tak ingin terganggu.

Ranaya menata penampilannya yang terbalut seragam SMA kelas akhir di depan cermin kamar mandi Rumah Sakit Kencana. Tempat ibunya dirawat dua tahun ini. Ranaya ke mari hampir sepanjang waktu, untuk menjaga sang ibu yang terbaring koma. Akibat kecelakaan fatal yang menewaskan adik serta ayahnya. Sejak insiden itu ... Ranaya hidup sendiri.

Berbekal warisan dan sisa harta yang diturunkan sang ayah, Ranaya mampu menghidupi kebutuhannya. Mulai dari membayar biaya sekolah, makan, sewa kost, juga pengobatan sang ibu.

Namun kesembuhan ibunya tak kunjung menampak. Sementara biaya rumah sakit kian hari kian tinggi. Tabungannya semakin terkuras habis. Karena itu, Ranaya harus mencari akal. Mendapat uang cepat dalam jumlah besar tentu tidaklah mudah. Apalagi di kota besar macam Jakarta dengan segala biaya hidup mahalnya.

"Mau berangkat sekarang, Nay?"

Ranaya menoleh setelah menutup pintu ruang inap ibunya. Tersenyum sopan pada Dokter Argi, dokter muda yang menangani ibunya selama kurang lebih dua tahun ini.

"Iya, Kak," jawab Ranaya tanpa formal. Sapaan akrab yang sering ia lontarkan pada Argi.

"Kebetulan, Kakak juga mau cari sarapan. Mau nebeng?"

"Em ... aku naik angkot aja."

"Hei, gak boleh nolak rejeki pagi-pagi. Lagipula tukang bubur langganan Kakak juga deket sama sekolah kamu. Ayolah, Kakak janji gak bakal minta ongkir."

Ranaya tertawa manis. "Oke, Kakak yang maksa, lho, ya."

Argi ikut tersenyum, mengacak kepala Ranaya dengan sayang. "Ayo, nanti macet."

***

"Nanti pulang sekolah Kakak jemput, ya?"

Ranaya meringis. Argi pasti sibuk sebenarnya. Namun dia pintar mencuri waktu hanya demi menjemput atau mengantar Ranaya ke sekolah. Tanpa disadari hal itu membuat Ranaya semakin tidak nyaman, dia merasa menjadi beban padahal bukan orang yang berarti dalam hidup dokter muda itu.

"Mungkin aku gak ke rumah sakit dulu buat nemenin Mama. Aku mau ngerjain tugas sama temen sore ini, dikumpul besok soalnya." Ranaya beralasan.

Pria yang mengenakan kemeja biru muda itu tersenyum setengah. "Oke, tapi kalau udah selesai kamu bisa hubungin Kakak. Kakak bisa jemput kalau gak terlalu sibuk."

Ranaya menggeleng ringan. "Aku bisa sendiri. Ya udah, aku masuk, ya, Kak. Makasih tebengannya."

Sebelum Argi menjawab, Ranaya sudah berlalu, meninggalkan Argi dan mobilnya di depan gerbang sana. Si gadis berambut cokelat hanya takut jika Argi semakin mengulur waktunya untuk belajar.

Di usia ini, Ranaya harus fokus pada pendidikannya. Lulus dengan nilai sempurna. Kuliah dengan beasiswa yang ia dapat. Mencari pekerjaan untuk menghasilkan rupiah yang dapat membantu pengobatan sang ibu. Sudah sekian tahun ibunya tertidur, Ranaya ingin membuatnya bangun.

Masalah Argi, dia tidak ingin ambil hati. Pria itu sudah ia anggap sebagai kakaknya sendiri. Baik, juga perhatian. Namun Ranaya tidak bisa ditipu. Ia tahu ada tatapan kagum saat dokter itu menatapnya. Ada makna yang tersirat di balik sikap dan perhatian yang ia curahkan selama mengenal Ranaya, dan Ranaya yakin ... itu bukan perhatian layaknya seorang kakak pada adiknya. Apalagi seorang dokter pada keluarga pasiennya. Ini kasus yang jelas berbeda.

Karena itu, sebisa mungkin Ranaya menghindar. Bukan bermaksud jual mahal. Untuk menyukai laki-laki apalagi membalas perasaannya saja tidak terpikirkan oleh gadis berambut sebahu. Jadi, sebelum mereka masuk. Ranaya sudah lebih dulu menutup pintu.

***

Awal dipublikasikan:
13 Juli 2020

MY STARBOY ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang