"Aku gak kuat, Ar. Kita pisah aja, ya?"
Araka memucat, rona merah terkuras habis dari wajahnya. Otot rahangnya mengejang kuat, ikut tertarik karena tercengang. Wajahnya yang berubah tegang seolah tercekik, menatap tak percaya pada ucapan gadis di depannya.
"Nggak ... aku gak mau!" Araka langsung menolak mentah-mentah, melangkah maju, menangkup pipi Ranaya dengan begitu lembut. "Babe maaf, t-tadi aku gak sadar aku ngomong apa. Babe ...."
Ranaya malah membuang muka. Berusaha tidak menunjukkan wajah pilunya. Menepis tangan Araka yang bertengger di kedua pipinya. Meminta pemuda itu mengambil posisi lebih jauh, mendorong dadanya dengan tenaga lemah. Ranaya menyerahkan foto yang ia pegang pada Araka setelah membersihkan kacanya.
Sembari tersenyum perih. "Maaf, tadi aku lancang ambil foto ini."
Araka menggeleng parau, tidak peduli lagi pada foto yang Ranaya kembalikan. Ia menahan tangan Ranaya yang hendak pergi. Mendekap tubuhnya yang gemetar. "Babe maaf, jangan gini ... jangan minta itu. Aku gak mau, aku gak mau pisah. Kita udah janji, 'kan, mau sama-sama? Kenapa sekarang gini?"
"Justru aku yang harusnya tanya sama kamu, kenapa sekarang kita gini, Ar?!" Tanpa sadar Ranaya memekik. "Kalau di hati kamu masih ada cewek itu kenapa harus ada aku?"
Araka menunduk, menyembunyikan wajahnya di cekungan leher Ranaya. "Maaf," lirihnya menyesal.
Dekapan Araka dengan mudah Ranaya lepaskan. Ia bergerak lebih jauh, mengambil langkah panjang keluar dari area makam tanpa menoleh ke belakang lagi, Ranaya benar-benar kecewa.
Berjalan lurus sambil memegangi perutnya yang sedikit terasa nyeri, mungkin ... bayinya terkejut karena dorongan tadi. Ia melangkah semakin cepat, tak ia hiraukan sang suami yang memanggilnya berkali-kali di belakang sana.
Tentu Araka tidak akan tinggal diam, ia mengejar istrinya sebelum banyak mengambil langkah. Namun belum sempat ia menangkap tangan itu kerah bajunya ditarik ke belakang, mendapat bonus sebuah bogeman kuat hingga ia terjerembab. Punggungnya menghantam rerumputan dengan kuat. Kesal, Araka segera bangkit. Ia hendak melawan namun Zico sudah memperingatinya lebih dulu dengan mengangkat tangannya.
"Diem kalau lo nyadarin kesalahan lo."
Araka langsung terdiam. Balas memukul Zico, itu sama saja ia tidak terima disalahkan. Seharusnya ... Araka mendapat bogeman yang lebih kuat dari ini.
"Tapi gue belum jelasin apa-apa!"
Zico berbalik akan melangkah, tapi ia dibuat kembali ke tempat asal karena Araka yang keras kepala ingin menyusul Ranaya.
"Gue bilang diem di situ! Kasih Ranaya waktu buat sendiri. Jangan sampai gue bunuh lo di sini biar nyusul Rista lo sekalian," ancamnya. Kemudian benar-benar pergi menyusul Ranaya yang berjalan cepat sambil menutup mulutnya menahan tangis.
Zico berhasil membuat Araka tak bergerak. Pemuda itu hanya berdiri mematung menatap dua manusia yang berlalu menjauhinya.
Menutup mata, sebuah bulir hangat jatuh dari salah satu matanya. Ia ... kecewa pada dirinya sendiri. Karena dendam ini keegoisan langsung menguasainya. Senjata makan Tuan. Araka seolah menjadi 'korban' dirinya sendiri.
Menunduk, menatap sebuah foto usang yang ada di tangannya. Yang membuat tangannya berdarah karena ia ia genggam terlalu kuat, ujung bingkai yang terbuat dari kaca itu melukainya. Merasa geram, melempar foto itu hingga pecah menghantam batu.
***
"Kalau lo ijinin, gue bisa kubur Araka hidup-hidup di samping makam Rista." Zico ikutan geram. Mencengkram setir mobilnya yang sudah melaju meninggalkan area pemakaman. Sedikit rasa menyesal menghampiri mengapa ia membawa Ranaya ke tempat itu. Zico lupa jika Rista juga dimakamkan di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY STARBOY ✓
RomanceVarrios, tim yang berdiri sejak tiga tahun yang lalu. Kini diambil alih kepemimpinannya oleh Araka. Sebuah tragedi menyeret semua personil mereka. Satu-persatu ... dengan segala ancaman dan misteri. Pengkhianat yang berkedok teman, dan musuh yang me...