"Morning, Babe."
Sapaan itu membuat Ranaya spontan menoleh horor. Ia baru menyadari jika sesosok mahluk kasat mata ternyata berdiri tepat di depan pintu kelasnya, dengan membawa serta cengiran lebar juga wajah tengilnya. Bagian yang paling dibenci Ranaya.
"Ngapain, sih, lo?"
"Emang nyapa calon istri sendiri gak boleh?"
"Nikah sana sama tembok!"
Araka tergelak. Hari ini ia begitu bahagia, jadi dia tidak akan menanggapi serius judesan Ranaya. Malah seharusnya ia terbiasa dengan segala sikap gadis itu. Latihan diri untuk suasana rumah tangganya kelak. Pasti akan lebih ramai dari ini.
"Tembok itu seharusnya jadi saksi bisu pernikahan kita. Tapi boleh idenya, besok gue bakal ngundang dia juga, deh."
Ranaya memutar bola matanya, lagi-lagi dia jengah. Melenggang pergi masuk ke kelasnya tanpa mengucapkan apapun. Meninggalkan Araka yang masih tersenyum secerah mentari pagi.
Araka melambaikan tangannya dengan ceria begitu Ranaya masuk ke kelasnya. "Semangat, ya, Babe! Jangan sering-sering mikirin gue, entar gak fokus belajar, lho."
"Pergi lo, setan!"
Araka terbahak. Melihat wajah kesal itu, mood Araka semakin meningkat beberapa persen. Ranaya selalu bisa membuatnya bahagia. Ah, ia sayang gadis itu. Araka tersenyum makin sumringah saat mendapati Revano sedang melakukan kontrol keliling kelas.
Dari jauh sini, teman masa kecilnya itu memang terlihat sangat berwibawa, walau usianya masih menginjak 28 tahun —yang termasuk usia termuda untuk ukuran kepala sekolah— ia bisa mengemban tugas dan tanggung jawabnya dengan sangat baik. Terkadang Araka sendiri tak percaya, partner mencuri mangga milik tetangganya dulu ternyata bisa sesukses ini.
"Pagi, Kak Vano." Araka menyapa dengan ramah. Sampai repot-repot membungkuk hormat padahal bukan kebiasaannya.
Revano meliriknya malas, berdehem acuh lalu kembali melanjutkan pekerjaannya. Berjalan di sisi koridor untuk mengecek keadaan kelas-kelas sebelum pelajaran dimulai.
"Jahat, deh, cuma di-read doang."
"Pagi juga, Aka." Akhirnya Revano membalas. Walau masih terkesan tak peduli dengan kehadiran anak ini. Lebih tepatnya ia malas berinteraksi dengan Araka. Lebih tepatnya lagi, manusia macam Araka.
Araka yang pada dasarnya muka tembok, tersenyum lebar menanggapi reaksi itu. "Nah, gitu, kek. Btw, hari ini semua orang keliatan bad mood, ya? Semuanya pada judes ke gue. Mulai dari Papa, temen-temen, si Bebeb, sekarang ... elo."
"Pak Revano."
"Bodo amat, gak ada orang yang denger juga."
Revano mendengkus. "Gak ada yang bahagia hari ini kalau kamu yang ngambil kebahagiaan mereka semua. Termasuk saya."
Araka mengerjap polos. "Emang gue abis ngelakuin apa?"
Revano menatapnya sinis. Seakan ingin mengatakan, 'Gak usah sok gak tau!'
Araka tertawa melihat itu. Menepuk bahu Revano dua kali lalu merangkulnya sok akrab. "Santai, dong, gue cuma mau ngecek doang. Takutnya lo lupa soal kesepakatan itu."
"Saya gak lupa."
"Bagus-bagus!" Araka mengacungkan jempolnya. "Lo tau, Kak? Gue gak sabar mau cepet-cepet nikah, punya anak, terus hidup bahagia, deh."
"Emang kamu pikir menikah segampang itu? Kamu masih kecil buat urusan menikah, Aka. Nunggu kamu cukup umur dulu."
"Tapi gue pengennya sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
MY STARBOY ✓
RomanceVarrios, tim yang berdiri sejak tiga tahun yang lalu. Kini diambil alih kepemimpinannya oleh Araka. Sebuah tragedi menyeret semua personil mereka. Satu-persatu ... dengan segala ancaman dan misteri. Pengkhianat yang berkedok teman, dan musuh yang me...