57. Born ... Die

16.4K 1.8K 1.5K
                                    

"Itu sebelah sana, atasnya lagi, atas!"

"Yang kiri belum, Ar!"

"Itu sebelah kamu juga belum."

"Yang bagian bawah belum kena."

"Di dekat lemari, nah, iya, itu."

"Eh, yang di dekat tempat tidur jangan lupa!"

"Lantainya jangan sampe kena, pintunya jangan lupa ditutup koran dulu. Hiasan lainnya juga, jangan sampai ikutan kena cat, ya."

"Kamu gak bisa liat apa? Itu di sebelah kamu masih kosong, mejanya dipindahin dulu biar gampang."

"Yang rapi dong, Ar. Jangan sampai belepotan gak karuan gitu. Nyapu kuasnya searah aja jangan lari kemana-mana."

"Gerakin kuasnya yang sak-sek-sak-sek cepet gitu, lho. Yang telaten. Jangan malah letoy kayak Abang Saleh gini. Kamu belum sarapan atau cacingan, sih? Yang semangat, dong, semangat! Katanya mau bikin V seneng?"

"Iya-iya, Babe. Yang sabar, ya, istriku, cintaku, hidupku. Tangan suamimu ini cuma dua." Araka mendengkus setelahnya. Pipinya kembung karena kesal. Menggerutu lancar di dalam hati.

Tangannya naik turun memegang kuas cat ogah-ogahan, menyapukan cat berwarna biru cerah itu ke tembok polos di depannya.

Dia menguap lebar, masih mengantuk.

Untungnya Araka memunggungi laptop papanya yang ia letakkan di atas meja sedikit jauh darinya —yang dia pinjam pagi tadi dengan alasan ingin melihat lebih jelas wajah sang istri saat melakukan panggilan video.

Karena posisinya yang cukup strategis, Ranaya tidak bisa melihat suaminya yang mati-matian menahan kantuk. Araka sudah bisa menebak apa yang ia dapat jika membantah keinginan istrinya, ujung-ujungnya Ranaya akan mengomel dari pagi ketemu pagi.

Masih ingatkah dengan permintaan Ranaya yang ingin Araka menghias kamar untuk V? Di sinilah Araka kini.

Di sebuah kamar kosong di samping kamar mereka, dengan kedua tangannya sendiri Araka membersihkan kamar ini tanpa bantuan ART. Membeli kuas dan cat di toko bangunan lalu mengecat kamar untuk calon bayinya sendiri. Dia sudah bekerja sejak pagi.

Araka kira, permintaan Ranaya sudah terhapus oleh gulungan lupa dan deburan masalah yang terus menghantam mereka. Tapi ternyata sang istri masih mengingatnya dengan jelas dan selalu menagih janjinya sejak kemarin. Mana tega dia jika Ranaya sudah mengeluarkan jurus andalan kalimat manja dan matanya yang terlihat lugu.

Kalau boleh jujur itu sedikit mengganggu ketenangan hatinya.

Salahkan dirinya sendiri yang lupa mencari tukang yang mirip dengannya.

Untungnya, hari ini sampai tiga hari ke depan sekolah sedang libur untuk kelas 12. Namun pagi hari yang harusnya ia gunakan untuk tidur malah direnggut istrinya.

Meskipun Ranaya sedang berada jauh di seberang sana, rupanya itu bukan menjadi penghalang untuknya membuat Araka merasa tersiksa seperti dulu. Ponsel baru —kali ini berwarna hitam— yang baru ia beli tadi malam, esok paginya penuh dengan puluhan panggilan tak terjawab dari istrinya.

MY STARBOY ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang