Mata tajam yang tertutupi alis tebalnya menukik. Mengunci sasaran tepat di depan mata, beberapa meter dari jaraknya berdiri. Ia mengatur arah busurnya. Memastikan agar saat melesat anak panahnya tidak meleset dari target. Di depannya, tiga mayat wanita dengan tangan terikat ke atas dan kaki yang menggantung di udara tersaji menggiurkan. Menjadi objek panahan lelaki berumur 18 tahun ini.
Araka menarik tuas panahnya. Beberapa saat setelah ia melepaskan tembakan, anak panahnya menancap sempurna ke perut salah satu dari wanita itu. Dia tersenyum puas.
"Udahlah, Ar. Udah pada mati masih aja lo siksa."
"Berisik! Lo mau ikut mati juga?"
Juna mendengkus, sahabat kepompongnya itu memang selalu tidak mau dibantah. Beginilah sahabatnya jika dalam suasana hati yang buruk. Musuh-musuh yang semula ia lepaskan ia tangkap lagi untuk diberi kebebasan ... mati.
Ini dikarenakan dua hari lalu Araka dikeluarkan dari sekolahnya karena kasus yang sebenarnya bukan dia pelakunya. Itu tuduhan palsu, hal yang membuat mood Araka memburuk hingga memilih melampiaskan kemarahannya pada tiga mayat wanita di depannya. Ia pun turut mengajak Juna sebagai penonton setia.
Di bagian inilah rasanya Juna ingin menampar Araka dengan samurai jika ia tidak ingat sifat asli sahabatnya itu. Apa Araka tidak sadar? Ada Juna yang tersiksa di sini. Memang, yang Juna lakukan hanya melihat Araka melakukan aksinya, Juna hanya diam menonton dari kursi yang sudah ia duduki sejak satu jam yang lalu.
Tapi menyaksikan sendiri bagaimana sadisnya seorang Araka menghabisi mangsanya tepat di depan mata, Juna tidak akan berbohong ... dia ikut bergidik ngeri. Membayangkan tubuhnya yang tidak seberapa besar ditancapkan pedang berkali-kali, atau meringis saat Araka meneteskan cairan besi panas ke ubun kepala.
"Perfect! (Sempurna!)" Araka memuji dirinya sendiri. Puluhan anak panahnya menancap ke tiga tubuh wanita itu tanpa meleset ke dinding di belakangnya.
Juna meringis semakin kencang, entah sudah berapa kali ia bereaksi seperti itu. Setiap anak panah Araka berhasil menancap, dia yang berteriak kesakitan. "Lo emang gak punya sisi manusia, ya?!"
Araka meliriknya dengan malas, lalu fokus pada busurnya lagi. "Mereka emang pantas mati, bikin kotor bumi aja."
"Tapi gak gini juga!" pekik Juna frustasi. "Emang lo gak mikir gimana keluarga mereka?"
"Mereka yang gak mikir gimana keluarga gue!" Araka menampik. "Yang satu berusaha ngerayu Papa, yang satu korupsi, yang satu nyamar jadi pembantu buat ngorek informasi tentang perusahaan Papa. Heran, deh, orang tamak begini dibiarin hidup. Jadi gue berbaik hati aja, jadi asisten Malaikat Izrail."
Juna hampir khilaf menendang mulut laki-laki itu jika dia tidak ingat dengan kata 'sabar' yang ia ucapkan berkali-kali setiap berpepetan dengan Araka.
Panah terakhir menancap sempurna ke kepala wanita yang tergantung di tengah-tengah. Dia wanita yang menjadi sekertaris baru papanya beberapa bulan ini, bukannya becus bekerja, malah merayu papanya. Jelas, itu membuat sisi lain dalam tubuh singa ini terbangun karena terusik.
Araka mengusap keringat di dahinya. Menghampiri Juna, melempar tas berisi anak panah yang tersisa seenak dengkul. "Kalau lo mau main sama mereka pakai aja."
Juna bergidik. "Gue gak sama kayak lo, gue penyayang wanita."
Araka berdecih. Dia pergi dan seperti biasa Juna selalu mengikuti. Araka berjalan beriringan bersama Juna yang membawa perlengkapan memanahnya menaiki tangga kayu untuk keluar dari ruang bawah tanah—tempat eksekusi pribadi Araka.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY STARBOY ✓
RomanceVarrios, tim yang berdiri sejak tiga tahun yang lalu. Kini diambil alih kepemimpinannya oleh Araka. Sebuah tragedi menyeret semua personil mereka. Satu-persatu ... dengan segala ancaman dan misteri. Pengkhianat yang berkedok teman, dan musuh yang me...