23. Pregnent Milk

23.4K 2K 332
                                    

Tangan Ranaya gatal, bukan karena ada ruam di bagian tubuhnya. Tapi karena ada kuman-besar-berisik yang duduk di sampingnya, di sofa ruang keluarga.

Ingin rasanya fungsi obat gatal ia ganti dengan majalah yang ada di tangannya. Bukan untuk dioleskan, melainkan untuk diterbangkan ke arah kepala kuman besar itu.

Ia butuh ketenangan di sore hari yang terik ini, tapi seolah semesta tidak mengizinkan ada saja hal yang membuatnya harus menutup telinga.

Ranaya menghela napas, mengusap permukaan perutnya pelan-pelan. Mulai saat ini ia harus belajar menahan sabar, jangan sampai ia terpancing emosi dan sisi singa betinanya keluar.

"Le, besok kalau V udah lahir lo temenin dia main, ya. Ajak jalan-jalan, ke mana gitu. Biar V gak ganggu gue sama Bebeb waktu pacaran. Ya?"

Kucing berjenis Russian Blue itu tampak manja. Kepalanya mendongak ke atas, menerima usapan-usapan dari Araka di lehernya.

"Emang dia paham tadi kamu ngomong apa?" Ranaya bertanya.

Dengan semangat Araka mengangguk. Mengusap kepala kucing yang ada di pangkuannya. "Pasti pahamlah. Iya, 'kan, Le?"

Le diam saja.

Araka kikuk, dia menyengir pahit, melirik Ranaya yang mengangkat satu alisnya.

"Le, iya, 'kan?" Araka memberi tatapan memicingnya dengan nada penuh penekanan. "Le jangan pura-pura budek, deh."

Le masih diam rupanya, dia tidak paham apa yang diucapkan oleh sang majikan. Yang dia lakukan hanya memiringkan kepala seraya menggerakkan daun telinganya.

Dengan dengkusan pelan Ranaya memperhatikan dua makhluk berbeda jenis itu. Interaksinya terlihat lucu jika dilihat-lihat. Araka yang keras kepala terus memaksa Le, dan Le si kucing malang yang dipaksa majikannya untuk bicara namun belum mau membuka suara.

Ranaya merasa geli. "Gak usah dipaksain, Ar."

"Dia kemarin mau ngomong, kok. Le, ayo ngomong, dong!" Araka mengangkat kucingnya. "Lo mau malu-maluin gue, ya? Biar dikira gila di depan istri sendiri."

"Meow!"

"Lha, malah nyaut?"

Ranaya terkekeh.

Araka kesal, memasukkan Le ke dalam kandangnya lagi. Agar kucing itu tidak berkeliaran ke seluruh rumah dan bulunya tidak bertaburan di mana-mana. Masalahnya, kakaknya alergi kucing.

Araka sudah bisa menebak apa yang akan Aretta lakukan jika ia mendapati adiknya masih memelihara kucing berbulu kelabu itu, dan Araka tidak akan membiarkan kucing kesayangannya dijadikan gelandangan pasar oleh sang kakak. Untung saja kini Aretta sedang keluar, jadi Araka bisa sedikit leluasa bermain dengan kucingnya.

"Le nyebelin." Araka cemberut. Menatap kesal Le yang sedang bersih-bersih sok cuek di kandangnya.

"Lagi laper kali."

"Le harus diet, kalau gak mampu sixpack setidaknya kurusan dikitlah, biar laku. Masa iya, majikannya udah kawin tapi kucingnya belum? Malu sama kucing tetangga anaknya udah tujuh."

"Le, 'kan, cowok, Ar."

"Emang gak bisa hamil?"

Ranaya menepuk jidatnya dengan majalah. Mungkin ini yang dinamakan 'don't judge the people by the cover', otak boleh oke tapi tampang masih bloon.

Dengan logat bodohnya yang natural Araka kembali melanjutkan. "Kalau pake progam bayi tabung aja bisa gak?"

'Tahan ... sabar ... jangan dihujat.
Emosi gak baik buat bayi lo, Nay. V, jangan dengerin Papa, oke,' batinnya berusaha menguatkan sembari mengusap perutnya dengan lembut.

MY STARBOY ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang