5. Bad News and Good News

28.2K 2.7K 162
                                    

"Mama aku gak pa-pa, 'kan, Kak?" tanya Ranaya khawatir. Berharap apa yang disampaikan Dr. Argi adalah kabar baik yang menguntungkan, juga kabar buruk yang tidak terlalu merugikan.

Argi melepaskan kaca mata tipisnya. Meletakkannya di kotak simpan. Mengambil napas panjang sebelum menatap lurus wajah Ranaya yang terlihat cemas. Ingin sekali ia memeluknya, menyalurkan kedamaiannya untuk gadis itu. Tapi Argi masih tahu batasan, ia tidak ingin terlihat kurang ajar di depan Ranaya.

"Mungkin, Kakak harus sampain kabar baiknya dulu." Argi membasahi bibir bawahnya. Mengambil posisi duduk lebih nyaman. "Kamu tau? Tadi malem ada perawat yang masuk ke ruang inap mama kamu. Untuk melakukan pemeriksaan malam seperti biasa, dan yang bikin Kakak harus sampain ini kabar baik adalah, katanya ... dia liat jari mama kamu bergerak."

Ranaya membelalak, membekap mulutnya tak percaya. "Ka-Kakak serius?"

Argi mengangguk, ada senyum meyakinkan yang ia berikan membuat senyum haru Ranaya makin melebar.

Ranaya tak bisa menahan senyuman bahagianya. Ada pancaran harapan nyata dalam gemilang mata berkacanya. "Itu artinya Mama akan siuman sebentar lagi?"

Argi mengangguk lagi. Ia ikut senang seperti yang Ranaya rasakan. Tapi perlahan senyumnya menyusut, berganti tatapan pilu penuh pertimbangan akan kabar buruk yang harus ia sampaikan. Rasanya ia tak tega, gadis ini baru mendapatkan kebahagiaannya, Argi tak ingin merusaknya. Tapi ini juga mendesak, tak bisa ditutupi lebih lama.

"Dan kabar buruknya ...." Argi meneguk ludah.

Ia saja sulit mengatakannya, lalu bagaimana dengan Ranaya yang menerimanya nanti? Argi harus profesional, ini sudah menjadi pekerjaannya. Ranaya yang ada di depannya tidak boleh ia pandang sebagai orang lain. Argi seorang dokter, dan Ranaya adalah keluarga dari pasien yang ia tangani selama beberapa tahun belakangan ini. Meski berita yang harus dia sampaikan terasa pahit, mau tak mau Ranaya harus menelannya.

"Nay, kamu pasti udah tau. Kamu sudah tiga kali dapat teguran dari pihak rumah sakit untuk segera melunasi pembayaran perawatan mama kamu." Benar dugaan Argi, senyum Ranaya langsung memudar. Dengan kepala tertunduk tak nyaman Argi melanjutkan kata-katanya. "Kakak gak bisa bantu lagi, terakhir Kakak bilang Kakak cuma bisa bantu kamu ulur waktu. Pagi tadi pihak administrasi sudah bilang, jika dalam tiga hari ke depan kamu gak bisa melunasi semuanya. Terpaksa, perawatan mama kamu harus dihentikan."

Ranaya meremas ujung kaosnya. Menahan air matanya agar tidak menetes, atau meringis kencang menerima tamparan berita itu. "Aku ... aku bakal berusaha cari uangnya, Kak. Makasih Kakak udah bantu aku ulur waktu. Tiga hari itu aku rasa cukup untuk cari uang buat pengobatan Mama."

Argi mengeluarkan secarik kertas dari dalam laci. Memberikannya pada Ranaya meski sedikit ragu. "Ini total semua tagihan dari rumah sakit."

Dengan tangan gemetar Ranaya menerima kertas itu. Sangat ringan, tapi Ranaya yakin ada beban berat dari tulisan yang tercetak di sana. Benar saja, Ranaya hampir menjerit melihat nominal mencapai 100 juta terpampang jelas di atas tangannya.

'Aku dapet uang sebanyak ini dari mana, Tuhan?'

Melihat diamnya Ranaya, Argi kembali angkat suara. "Nay, Kakak punya sedikit tabungan. Kamu bisa pakai itu dulu. Mungkin nominalnya memang gak seberapa, tapi bisa sedikit membantu kamu."

Ranaya menatapnya, dia menggeleng. Tanpa sadar itu membuat Argi meringis, gadis ini tak pernah mau menerima bantuan tunai darinya.

"Nggak, Kak, aku tau Kakak juga butuh uang itu untuk keperluan Kakak." Ada jeda beberapa detik sebelum Ranaya menatap Argi dengan tatapan memohon. "Kakak, bisa bantu aku sekali lagi?"

MY STARBOY ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang