"Jadi gimana? Udah siap?"
Ranaya menelan ludah pahit, tak tahu harus mengatakan apalagi. Alhasil ia hanya berdiri mematung di ambang pintu rumahnya, setelah membukakan pintu untuk tamunya Ranaya masih enggan untuk bergerak. Seolah paku tak kasat mata menancap di seluruh tubuhnya, membuat Ranaya mati kutu.
"Nay?"
Ranaya mengerjap, merasakan sentuhan di bahunya yang tertutupi jaket rajut tebal. Rambutnya diikat tinggi menyisakan beberapa anakan di tengkuk dan dahi. Ia berpenampilan rapi dengan make-up tipis yang menghiasi wajahnya. Tampak siap untuk pergi.
"Y-ya, gue siap," jawabnya dengan gugup kemudian. "Koper gue ada di dalam."
Zico mengutas senyum tipis. "Biar gue ambilin."
Ranaya mengangguk, mempersilahkan Zico untuk masuk ke dalam rumahnya yang sepi. Pemuda itu mengambil satu buah koper berukuran sedang miliknya yang sengaja ia letakkan di ruang tamu, lalu memasukannya ke dalam bagasi mobil yang juga terisi satu buah koper milik lelaki itu.
Ranaya masih termangu di tempatnya, hanya berdiri diam memandangi Zico yang sibuk memasukkan kopernya ke bagasi mobil yang terparkir tepat di depan teras. Ada rasa tak yakin yang tiba-tiba mengunjungi hatinya di saat-saat terakhir ini. Menghembuskan napas dalam-dalam, Ranaya menghampiri Zico. Membantu lelaki itu menutup pintu bagasi mobilnya.
"Keperluan lo udah ada di koper semua?"
Ranaya hanya mengangguk lamban sebagai jawaban.
Zico mengangkat tangannya sebatas dada, melirik jam Rolex-nya yang berkilau di bawah sinar matahari. "Bagus, ada sekitar satu jam lagi sebelum pesawat kita take-off. Mungkin kita bisa cari sarapan dulu, sekalian beli keperluan lo yang masih kurang. Gue yakin lo bakal bosen di pesawat nanti, jadi kita bisa beli beberapa camilan dulu."
"Oke," balas Ranaya seadanya, tersenyum segaris saja.
Ia sedang tidak berselera. Nyatanya, semua perhatian dari Zico belum bisa membuat Ranaya tersenyum lebih lebar. Padahal awalnya ia sangat berantusias dan berapi-api ingin pergi dari kota ini.
Entah kini menghilang ke mana semangatnya yang berkobar itu?
Atau ... ini karena kesedihan bayinya yang tak ingin berpisah dengan sang ayah?
Ranaya mengusap perutnya yang bersembunyi di balik dress selutut berwarna biru tua yang ia pakai. Menjelaskan dengan nada pelan berharap V bisa mengerti keadaan sang mama.
Ranaya menghembuskan napas panjang, mengambil udara sebanyak-banyaknya selagi ia masih bisa bernapas di kota ini. Membuka mata, menatap gerbang rumahnya yang terbuka lebar, serta mobil Zico yang seakan menunggu untuk dinaiki.
Baiklah, ia siap!
"Nay, lo yakin masih mau pergi? Gue liat lo terpaksa banget."
Ranaya terdiam sesaat, kemudian ia mengangguk keras kepala. Melawan suara hatinya yang berbeda argumen. "Gue yakin, lagipula kita udah sejauh ini. Bakal sia-sia kalau kita batalin semua rencana yang udah kita buat." Senyum sepat menghadiri bibirnya yang dipoles lipbalm merah cherry.
Zico menatapnya iba, ia bahkan bisa melihatnya dengan jelas. Ranaya tak bersungguh-sungguh ingin pergi dari sini. Meski di hari sebelumnya ia yang terus mendesak Zico dengan berbagai macam pertanyaan kapan mereka pergi dari negara ini. Ranaya bilang, ia ingin secepatnya. Seolah dia orang yang paling bersemangat untuk pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY STARBOY ✓
RomanceVarrios, tim yang berdiri sejak tiga tahun yang lalu. Kini diambil alih kepemimpinannya oleh Araka. Sebuah tragedi menyeret semua personil mereka. Satu-persatu ... dengan segala ancaman dan misteri. Pengkhianat yang berkedok teman, dan musuh yang me...