6. Last Choices

26.4K 2.4K 165
                                    

"Pipi lo abis dicium siapa sampai bonyok begitu?"

Juna kembali menekan es batu yang terbalut sapu tangan ke tulang pipinya. Ada jejak biru yang ditinggalkan Araka di situ. Ulahnya pagi tadi yang tak sengaja memancing kemarahan sang singa, berakhir ia yang malah mendapatkan oleh-oleh seperti ini.

"Siapa lagi yang gampang main tangan ke temen sendiri."

Theo mengernyit. "Bos? Ngapain lagi, tuh, bocah?"

"Tau, deh. Males gue ngomong di—sakit, njir!" Juna meringis, memprotes Rey yang sembarangan mengetuk luka di pipinya.

"Asli, Jun."

Juna mengumpat. "Ya, menurut lo?! Baru tau gue singa kalau lagi masa kawin sampai seagresif itu."

"Ho'oh, sangking agresifnya Araka sampai berani gendong calon ceweknya ke sini. Emang gak punya malu ketua lo, Rey."

"Ketua lo juga, tai!"

Mengabaikan dua orang yang asik berseteru, Juna melongo sendirian. Tidak, lebih tepatnya ia melongo bersama seluruh penghuni kantin. Di pintu masuk sana, ketua Varrios mereka masuk bersama seorang gadis yang berada dalam gendongannya.

Sangat berbeda seperti yang ada di film atau novel-novel romantis. Dalam gendongan Araka, gadis malang bernama Ranaya tidak terlihat tersipu atau menunjukkan wajah merah menahan rona. Dia melipat tangannya di depan dada dengan wajah tertekuk masam. Diam dengan bibir mengatup rapat selama Araka menggendongnya.

Memang dasarnya Araka punya sifat malu yang memprihatinkan, dia cuek berjalan dengan dagu terangkat bangga. Tak menanggapi mata melebar, bibir melongo, atau wajah cengo penduduk sekolah karena ulahnya. Tidak kapokkah dia dengan aksi nekatnya mencuri ciuman Ranaya kemarin?! Sekarang Araka malah berbuat ulah lagi.

Ranaya memperhatikan keadaan kantin yang seolah tengah mengikuti tantangan Manequin Challenge. Semua diam dengan kegiatan terakhir masing-masing. Seakan memang diperintahkan untuk diam dari kegiatannya hanya untuk menonton nasib sial Ranaya.

Ranaya tersentak begitu Araka menurunkan tubuhnya sekaligus mendudukkannya di sebuah kursi kantin. Meja ini dihuni tiga personil inti Varrios yang lain —yang ia kenal nama-namanya dari Nadia. Mereka menatap Ranaya penuh kebingungan, begitu pula dengan Ranaya saat menatap mereka.

"Babe, lo suka makan apa?" Araka menumpu tangannya di pinggir meja, juga di belakang kursi Ranaya. Sedikit merendahkan tubuhnya, mengurung Ranaya dari samping.

"Boleh gue makan jantung lo aja?"

Araka tertawa remeh. "Gue bakal kasih jantung gue, kok. Tapi jangan dimakan, buat lo simpan aja. Di sini." Araka menunjuk dada kiri Ranaya.

Ranaya menepis tangannya. Melirik satu-persatu orang di meja ini. Mulai dari Juna di sampingnya, berurutan hingga Rey yang ada di kubu sebelah. Ia sampai lupa dengan keberadaan sahabatnya kini entah berada di mana. Yang terakhir ia ingat Nadia terbahak menonton ia dipermalukan oleh Araka tadi.

"Yang ini berat, sih, Ar." Theo menanggapi tanpa diminta. Membuat Ranaya dan Araka menoleh padanya. "Bentengnya kukuh, Men. Lo gak bakal bisa."

Araka mengigit pipi dalamnya. Menatap Ranaya yang masih menatap Theo. "Oh, iya? Kalau gue bisa robohin bentengnya Ferrari lo buat gue."

"Apa-apaan?!"

Tak sama seperti Theo yang berseru tak terima. Ranaya melotot pada Araka yang berdiri di sampingnya. Pemuda itu tersenyum mengejek menanggapi pelototannya. "Lo mau jadiin gue bahan taruhan?"

"Nope. Kalau pun iya, lo bakal jadi hadiah termahal yang pernah gue dapet." Araka melirik Ranaya dari atas sampai bawah. "Lo bakal jadi hadiah yang menarik."

MY STARBOY ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang