7. I Must Do

24.8K 2.4K 69
                                    

"Sejak lo masuk SMA Angkasa 01 personil Varrios bertambah, Ar."

Juna melirik Araka dua kali, ia sampai mengalihkan pandangan pada layar laptop di pangkuannya. Kalimat tadi sudah ia ucapkan yang ke-tiga kalinya. Tapi yang dia ajak bicara hanya diam, menunduk sambil mengusap layar ponselnya yang lama menggelap.

Juna menyenggol lengan Rey yang duduk di sampingnya. "Araka gak beres, tuh."

"Gue punya firasat Araka lagi mikirin sesuatu."

"Tapi masa selama ini? Dari pulang sekolah dia begitu. Mana disuruh makan gak mau, ganti baju juga dia ogah. Yakin gue, seragam Araka sekarang bau terasi."

Rey ikut menatap ketuanya. Pemuda yang duduk sendiri di sofa panjang ruang berkumpul markas Varrios itu memang terlihat aneh saat diam. Ia benci mengakui ini, tapi Araka yang sering membuat ulah jauh lebih baik.

"Panggilin Theo, gih. Pasti dia bisa gangguin Araka sampai ngamuk." Juna mengusulkan.

"Masalahnya, si Tayo udah balik. Biasa, anak rumahan. Kalau gak pulang di bawah jam sepuluh entar tidur di luar. Dia nasibnya sama kek Araka, punya kakak galak."

Juna mendengkus. "Lo gak balik juga? Udah lewat tengah malem. Anak-anak yang jaga juga udah pada ganti sift, tinggal beberapa personil di markas yang sekarang molor di kamar inap."

Rey mengecek ponselnya. Ada beberapa pesan yang ia lewatkan dari seseorang, sengaja ia abaikan untuk sementara. "Celia belum nelfon."

"Harus, ya, nunggu dia nelfon dulu baru lo balik?"

"Bacot. Udah lo urusin aja, tuh, anak. Gue ke kamar dulu." Rey beranjak dari duduknya. Berjalan menuju kamar atas tempat biasa ia menginap saat sedang bermalam di markas.

Tak hanya ia, beberapa personil pun disediakan satu kamar dengan beberapa tempat tidur di dalamnya. Berjaga-jaga jika pulang malah membahayakan nyawa, mereka bisa menginap di markas.

"Ar, lo mending buat rusuh di sini, deh, daripada diem gitu. Mau gelut sama gue juga ayo, gue jabanin."

Araka tetap diam.

"Heh! Anak Kenzie!"

Tak ada respon apapun. Juna yang sudah kehilangan kesabarannya melempar Araka dengan bantal sofa yang cukup besar. Itu berhasil membuat Araka terkejut walau tidak mengumpat apalagi memaki seperti biasa. Ia malah menerima lemparan bantal Juna dan meletakkannya di atas pangkuan. Menopang sikunya di situ sambil menyangga dagu.

"Gue masih gak nyangka ternyata Ranaya gitu."

Ini kalimat pertama yang Araka keluarkan sejak diam dari pulang sekolah hingga larut malam. Sepertinya ia tidak tahan dengan bibir mengatup rapat sampai berbau naga.

"Nyesel lo gangguin dia selama ini?"

Araka menggeleng. "Gue lebih nyesel gak ketemu dia dari dulu. Kenapa, ya, gue selalu nolak tawaran Papa buat sekolah di SMA Angkasa 01 padahal ada bidadari yang nyungsep di situ. Tau gini gue ajak lo pindah dari dulu."

Juna berdecak. "Terus sekarang rencana lo apa?"

"Gue punya satu, sih, tapi ini gila, Jun. Setelah gue tau semua tentang Ranaya ... cuma ini satu-satunya cara. Tapi gue masih gak yakin." Araka menghela napas. "Lo bisa bantuin gue, 'kan?"

"Apa?"

***

"Gugup?"

Ranaya menggeleng. "Dikit, sih."

"Santai aja, anggap lo udah pernah lakuin ini sebelumnya. Kita gak bakal diapa-apain sebelum udah disewa, kok. Selain orang itu, gak ada yang boleh nyentuh kita. Bos udah jamin." Freya berusaha menenangkan.

MY STARBOY ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang