22. Best Gift Ever!

19.4K 1.9K 157
                                    

"Melek, Ar."

"Iya udah, nih, udah, tuh." Araka menarik kelopak matanya ke atas, dan menarik kantong matanya ke bawah. Berusaha membuat matanya tetap terbuka penuh. Namun ternyata pasukan kantuk masih bisa menyerangnya.

Ia yang kini duduk mendelosor di kursi tunggu bandara itu harus mati-matian menahan kantuknya demi sang istri. Agar Ranaya tidak mengomel panjang dan berujung membuat acara tausyiah gratis di tempat umum seperti ini.

Ranaya di depannya asik mondar-mandir seperti setrika. Sesekali mengecek ponselnya untuk melihat pesan yang terakhir kali ia kirimkan. Berharap sang papa mertua membalasnya.

Siang tadi, Ranaya mendapat pesan dari Mr. Ken yang mengatakan bahwa beliau akan pulang hari ini. Jika perkiraan Ranaya benar, pesawat yang ditumpangi mertuanya akan mendarat beberapa saat lagi.

Karena malam ini Ranaya sudah membuat rencana, ia memutuskan untuk menjemput Mr. Ken secara pribadi. Tentu dengan menyeret —tidak terima penolakan— suaminya yang sebelumnya sudah tertidur pulas.

Cukup dengan memberi Araka secangkir kopi suaminya mudah dibangunkan. Menyajikannya? Tidak, Ranaya menyiramnya ke wajah Araka.

Mungkin jika Ranaya adalah Theo Araka akan senang hati melayangkan tonjokannya. Ingat apa kata pepatah, jangan pernah mengganggu singa tidur. Tapi ini Ranaya ... tidak perlu dijabarkan lagi apa alasan Araka tidak akan melakukan itu.

"Hoaaah! Cp ... cp ... cp." Araka menguap lebar lalu berdecap, menggaruk lehernya yang sepertinya telah digigit vampir junior. Nyamuk. "Papa nyampenya masih lama, ya? Mata aku udah segede laron ini."

Ranaya meliriknya keji. "Lupa, sama rencana kita tadi siang?"

"Tapi masa iya kejutannya tengah malem, sih? Kuno banget, ngerepotin orang juga."

Ranaya yang kesal menonyor pelipisnya. "Heh! Dia papa kamu. Ikhlas dikit kenapa, sih? Protes mulu perasaan."

Araka mencebik, gondok. Memilih menyenderkan punggungnya ke sandaran kursi tunggu. Meletakkan kedua tangannya di atas perut. Memejamkan matanya yang tidak bisa diajak berkompromi lagi.

Saat Araka hampir terlelap ke alam mimpinya. Ranaya menerima sebuah telfon. Lantas dengan cepat ia mengangkatnya karena itu dari seseorang yang sejak tadi ia tunggu.

"Hallo? Oh, Papa udah turun dari pesawat? Ya udah, aku sama Araka tunggu di area penjemputan, ya, Pa ... iya, oke, Pa." Ranaya mengantongi ponselnya lagi. Berniat mengajak Araka menyusul sang papa. Namun, "Ck, nih, anak!"

Ranaya geleng-geleng kepala. Berkacak pinggang, tak habis pikir dengan tingkah suaminya. Ini tempat umum, banyak pasang mata di sini.

Apa Araka tidak malu tidur dengan posisi duduk dan menyenderkan kepala ke belakang kursi, sambil meletakkan tangannya di atas perut, dengan mulut terbuka lebar sampai bunyi dengkuran terdengar sayup. Araka ngantuk berat.

Ranaya yang masih bisa bersabar memilih cara lembut. Ia menggoyangkan bahu suaminya dengan pelan. Berniat membangunkannya.

Araka melenguh malas. Meraba tangan istrinya merambat sampai ke perut untuk menempelkan pipinya ke sana. Menyempatkan diri mengecupnya singkat dengan mata yang masih terpejam. Lalu kembali tertidur sambil memeluk pinggang Ranaya yang sejajar dengan kepalanya. Ranaya mendengkus kuat-kuat. Araka malah semakin menyamankan diri.

"Pilih dijambak apa ditendang?"

"Peluk aja."

Ranaya menggeram. "Papa mau nyampe, Ar. Bangun, ih! Kamu tidur gak liat tempat, ya?"

MY STARBOY ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang