49. Contraction

11.7K 1.6K 813
                                    

Malam masih menyelimuti, hawa dingin yang mendekap kulit seakan memberi kode pada para sejoli untuk saling berpelukan. Matahari akan muncul beberapa jam lagi, kabut tebal yang terasa dingin turun ke bumi tanpa diaba-aba, menyisakan embun yang menempel di permukaan benda menjadikannya basah namun tak kuyup.

Ranaya merasa aneh, dia menggerang kecil di tengah-tengah tidurnya. Menggigit bibir bawahnya sampai memucat, tak ingin suara rintihannya membangunkan sang suami yang sedang tertidur pulas memeluk perutnya. Seperti biasa, tidur bersama namun sejajar dengan perut sang istri. Ranaya tak menolak meskipun ia ingin menjauhkan tubuh itu darinya, secara ia belum benar-benar memaafkan kesalahan suaminya. Tapi masalahnya ... bayinya yang ingin dekat-dekat dengan sang papa.

Mata Ranaya terpejam rapat-rapat, merasakan sakit yang amat sangat terasa di punggungnya. Rasa nyeri yang ia tahan sejak tadi rupanya semakin menjadi-jadi. Hingga tubuh Ranaya merespon rasa itu, menggeliat kesakitan, keras kepala berusaha menahannya tanpa memberitahu sang suami.

"Babe?"

Namun nyatanya, usahanya tak cukup berhasil untuk tetap bungkam. Gerakan demi gerakan yang ia hasilkan membuat suaminya terbangun.

Dengan mata yang masih terbuka separuh Araka segera mengangkat kepalanya, melihat istrinya yang bergerak tak nyaman seketika rasa khawatir berbondong-bondong menyerang hatinya. Ia beranjak ke sisi tempat tidur untuk menekan tombol lampu di samping nakas. Menjadikan semua lampu di kamar itu menyala serentak.

"Babe, kenapa?" tanyanya khawatir.

"G-gak pa-pa, kok. Ini cuma ...."

"Jangan bohong, apanya yang sakit?"

Araka mendudukkan dirinya, membantu istrinya mengambil posisi yang sama dengannya. Ranaya terduduk dengan tangan yang menyanggah di belakang tubuh, sementara tangan lainnya menyentuh bagian punggungnya yang terasa sakit.

"Punggung kamu sakit?"

Ranaya hanya bisa mengangguk lemah dengan mata yang merem-melek menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Sungguh, rasa sakitnya tak tertahan. Ini lebih sakit daripada nyeri datang bulan di awal menstruasi. Ranaya merasa ada sesuatu yang menusuk di pinggangnya berkali-kali, memberi kesan ngilu dan pegal secara bersamaan. Seumpama rahimnya terbuat dari balon yang terisi air, Ranaya merasa ada yang meremasnya kuat-kuat.

"Sini-sini, coba deketan."

Araka menarik tubuh istrinya agar merapat dengan lembut dan penuh hati-hati. Mendekapnya rapat sementara ia menyenderkan bahunya di sandaran tempat tidur. Tangannya terarah untuk memberi usapan lembut di bagian sakit yang ditunjuk Ranaya, tangannya yang lain mengusap kepala belakang istrinya agar merasa lebih tenang.

Ia tidak ingin Ranaya sampai panik seperti apa yang sedang ia alami kini. Walau Araka bisa menutupinya dengan mudah. Saat ini, Araka harus tampil menjadi suami siap-siaga di depan istrinya yang hamil tua. Ia harus bisa bisa menjadi tempat terakhir untuk Ranaya melindungi diri.

Ranaya tak melakukan perlawanan apapun, ia menyembunyikan wajahnya yang memerah di dada suaminya, mencengkram kaosnya dengan erat sampai buku tangannya memutih.

"Aduh ... ssssh." Ranaya meringis lagi, ada hisakan kecil yang hadir kala suara itu mengudara. "Ar ... sakit, punggung aku ...."

"Aku pijitin aja gimana? Pelan-pelan aja, kok." Ranaya mengangguk pasrah. "Oke, tahan, ya. Sebentar aku ambil lotion dulu."

Araka menjauhkan dirinya secara perlahan. Bergerak cepat, mendatangi meja rias dan membuka lacinya. Ia sadar tidak ada minyak yang bisa ia pakai, namun ia masih ingat Aretta menyimpan sebuah lotion yang dulu pernah ditinggalkan kakaknya saat menginap di sini. Mungkin itu bisa membantu.

MY STARBOY ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang