Sunoo tidak merasa sedih. Ia juga tidak takut, apalagi marah. Sunoo merasa—yah, dia hanya menunggu saatnya tiba.
Saat ia bangun dipagi hari, menggeliat di atas kasur dan membuka matanya, perasaan itu perlahan mulai merayapi tubuhnya, dan didalam hati, ia sudah tau.
Jadi, ketika Master Choi menenggelamkan tangannya kedalam sebuah balok kayu, menggerakkannya seakan mengacak-acak isinya, Sunoo sudah tau kelopak bunga apa yang akan terambil dari dalam balok itu.
Master Choi akhirnya menarik tangannya, sebuah kelopak merah muda kecil dapat terlihat di sela-sela jarinya, membuat semua yang hadir diruangan itu menahan nafas. Sunoo, yang juga duduk berlutut diatas lantai seperti yang lainnya, menoleh ke kanananya. Ia dapat melihat Taehyun menggigit bibir bawahnya dengan khawatir, kedua tangannya mengepal diatas pangkuannya, dan Sunoo sangat ingin menyuruh adiknya untuk tidak khawatir karena tahun ini, ia tak akan terpilih.
Master Choi berbalik menghadap mereka semua, mata lelaki yang hampir berumur 60 tahun itu menyipit karena usia, wajahnya penuh dengan kerutan dengan rambut yang sudah memutih terkuncir kuda.
"Hortensia." Ia berucap, membuka tangannya dan menunjukkan kelopak yang telah terambil olehnya.
Sunoo menelan ludah, sentakan nafa kaget dapat terdengar dari helaan nafas lega teman-temannya. Ia mulai berdiri dan menatap sang adik untuk terakhir kalinya. Mata adiknya yang lebar itu semakin melebar tak percaya, air mata telah menggenang di matanya. Sunoo hanya tersenyum kecil padanya dan berbalik menghadap Master Choi, membungkuk memberi hormat padanya. Tanpa sepatah katapun, lelaki tua itu berbalik menghadap pintu yang menuju ruang persiapan
Taehyun menangkap lengannya. Sang adik memeluknya dengan erat dan Sunoo hanya bisa terdiam membalas pelukannya, membiarkan sang adik menangis di bahunya dan baru menarik diri ketika Master Choi berdehem. Setelah memberi kecupan terakhir pada kening sang adik, ia pergi mengikuti lelaki itu.
Sejujurnya, ia juga tak begitu merasa sedih. Atau marah. Atau takut. Ia hanya tau bahwa tahun itu ia akan menjadi persembahan untuk sang Naga.
}----{
Mereka memandikan tubuhnya dengan air yang dicampur dengan susu dan bunga-bunga, mendandaninya dengan sebuah jubah sutra putih dengan lengan berbordir emas dari siku hingga ke pergelangan tangan, membentuk sebuah pola yang merupakan gambaran indah sisik-sisik naga. Mereka menyisir rambutnya dengan rapi dan menaruh sebuah mahkota bunga yang terbuat dari kelopak-kelopak Hortensia serta kepingan emas tipis dan berlian. Ketika para pelayan itu memintanya berdiri, mereka meluruskan dan merapikan jubah panjang yang ia kenakan, lalu membungkuk memberi hormat padanya.
Sunoo tau apa yang akan terjadi selanjutnya, ia sudah melihat begitu banyak ritual seperti ini di tahun-tahun sebelumnya, sehingga ia berjalan keluar dari ruangan tanpa di suruh dan tiba ditaman asrama tempat ia dan anak-anak lainnya tinggal, dimana para pelayan dan Master Choi telah menunggunya.
Sunoo melihat kereta kencana yang akan membawanya, dan melangkah naik untuk duduk diatas bantalan duduk merah yang melapisi kursinya. Master Choi duduk tepat di sampingnya dan kereta kencana itu pun jalan, ditarik oleh empat kuda putih dan diiringi oleh empat pelayan di sisi kanan dan kiri.
Sunoo tau mereka akan melakukan parade didepan seluruh warga desa, memamerkan sang persembaan baru, membiarkan mereka menangisi kepergiannya sembari melemparkan kelopak bunga kearahnya—tapi Sunoo sama sekali tak peduli. Ia sedang berusaha memahami mengapa ia harus didandani sangat cantik dengan kain dan aksesoris yang sangat mahal karena Naga itu tak peduli dengan penampilannya, tidak akan membuka pakaiannya dan melipatnya dengan rapi sebelum memakannya. Seekor Naga tidak mempunyai hati nurani seperti manusia.