➻(N . K)
Ia menggenggam erat mug yang berisi kopi susu dengan kepulan yang sudah mengudara bebas lantaran hangatnya minuman tersebut. Kepalanya tertunduk lemah, dan sorot matanya begitu kentara menunjukkan tidak adanya gairah— tampaknya ia tak ada niatan sekalipun untuk menghalanginya dengan tatapan mata yang lebih hangat.
Begitu juga dengan sosok di depannya— yang sama-sama terdiam dengan minuman dingin yang esnya telah mulai mencair. Kepalanya juga tertunduk— sorot matanya pun tidak ada bedanya dengan lelaki dihadapannya. Atmosfer dingin— hampa menyelimuti keduanya, saling mendiamkan untuk beberapa saat dengan dirinya yang sering kali bergelut dengan pikiran dan batin. Memikirkan bagaimana mereka akan mengakhirinya; apa yang terbaik untuk mereka— apakah rasa atau... Nama baik?
"sudah seharusnya kita tidak saling jujur," yang lebih tua diam sejenak. "sudah seharusnya kita tidak memulai hubungan ini, sudah seharusnya kita—"
"tidak mempunyai perasaan ini."
Sang lawan memotong dengan nada yang begitu tenang— tak ada getaran yang menunjukkan bahwa ia terluka sedikit pun. Hanya datar– dan hampa.
Lelaki bersurai legam itu mengangkat kepalanya— menatap yang lebih tua tanpa kehangatan, binar cerah— atau pun malu-malu yang biasanya ia berikan. Namun sekarang.... Sang dominan hanya mendapati sorot mata yang dingin— juga kosong. Dan itu menyakitkan melihatnya seperti itu secara terus menerus akhir-akhir ini.
Nicholas ingin— ingin sekali melihat senyuman manisnya, netra cerah yang dihiasi banyak bintang setiap kali ia menatap dirinya, lalu sentuhan-sentuhan kecilnya— juga pelukan hangat yang selalu si manis larikan padanya. Dirinya ingin segala afeksi lelaki itu. Lagi.
Nicholas rindu...
Namun mengingat fakta tentang status yang tersemat lekat pada keduanya, membuat mereka kesulitan. Mereka mengerti, tapi itu tak membuat sayatan-sayatan luka pada diri keduanya lenyap begitu saja— yang ada.. Semakin hari mereka jalani, luka itu kian membesar— menyebar— dan bermutasi tanpa henti. Entah apa yang akan menyembuhkan mereka, tapi sepertinya waktu? Dan ini saatnya mereka memulai kembali hidupnya.
Inilah awalnya.
"sebaiknya kita berhenti." yang lebih muda melanjutkan. "melupakan satu sama lain adalah jalan yang terbaik, cara apa pun tak akan ada yang bisa membenarkan hubungan kita."
Nicholas menatap sendu. "baiklah... Kalau ini yang membuatmu lebih baik, kita hentikan saja."
Sang lawan mendengus ringan. "kalau gitu sudah jelas, kan? Aku pergi duluan." lalu ia beranjak dan membawa langkahnya menuju keluar kafe— dengan satu tangan yang menutup mulutnya– menahan agar isakannya tidak keluar dengan bebas.
Bodoh. Mana bisa aku membaik dengan berpisah darimu
Lirihnya dalam hati.
; ☹︎
Ia menapakkan kakinya dalam rumah, menyerukan suara bahwa dirinya sudah pulang. "Ni-ki pulang~" katanya dengan nada tidak begitu semangat tapi juga tidak begitu lemas.
"oh, putra bungsuku sudah pulang yaa~" disambut hangat dengan ibu yang sudah tersenyum lebar seraya tangannya sibuk menata ini-itu untuk makan malam hari ini. Setelahnya ia larikan tangannya menangkup kedua pipi putra manisnya. "aigoo~ mana senyumanmu yang biasa kau berikan pada ibu?" tukasnya jenaka, lalu mengecup sekilas kening sang putra.
Tuturan ibunya membuat si manis tersenyum tipis— yang sedikit dipaksakan agar ibu tidak sedih. "igo— iiii~" Ni-ki menunjukkan sederet giginya yang putih, buat ibunya tertawa jenaka karena keimutan anaknya.