Jungwon sedang menggunakan sweater depresinya.
Atau itu yang biasanya di katakan Sunoo, ketika depresi lelaki itu memutuskan untuk singgah dan menyelimuti tubuhnya untuk waktu yang tak bisa di tentukan.
Sunoo tiba di apartemen Jungwon tepat setelah dua puluh delapan jam semenjak terakhir Jungwon membalas chatnya dan tiba-tiba menghilang. Sang kekasih, seperti dugaannya, sedang dikekang oleh sweater depresinya.
Seakan sesuatu dengan paksa memasang sebuah sweater yang kekecilan itu pada diri Jungwon tanpa seijinnya, dan lelaki itu tak bisa melepaskannya. Terlalu erat, terlalu sempit, terlalu sesak, membuatnya tak bisa fokus akan hal lain selain berusah meloloskan diri dari belenggu sweater itu.
Ia masih bisa bergerak, melakukan aktivitas sebagaiamana manusia normal ketika sedang mengenakan pakaian. Namun, fokusnya terpecah, berusaha untuk melakukan sesuatu sembari berusaha bernafas, berusaha menyelesaikan tanggung jawabnya sembari berusaha melonggarkan sweater itu. Sebuah pertarungan sengit yang menyedot seluruh energinya, hingga akhirnya ia tak berdaya, dan hanya bisa diam, menunggu sweater itu longgar dan lepas dengan sendirinya.
Sunoo menutup pintu depan dengan pelan ketika ia tiba, dan melepaskan sepatunya. Berjalan dengan perlahan memasuki apartemen Jungwon, ia dapat melihat lelaki itu sedang meringkuk di sofa, memakai sebuah sweater krem yang cukup tebal; sweater hadiah dari Sunoo sendiri. Mengira sang kekasih sedang tidur, Jungwon mendongak menatapnya ketika Sunoo berhenti di depan antara sofa dan meja kopi di depannya.
Ada dua botol susu pisang di atas meja, sebuah Red Bull yang setengah kosong, serta bungkus keripik kentang yang isinya telah habis.
"Halo sayang." Sunoo menyapanya dengan lembut. Jungwon hanya menatapanya, dan Sunoo dapat melihat bahwa tak ada apapun di sana; tatapan lelaki itu kosong. Matanya tidak begitu berkabut, tidak begitu sayu, cukup untuk membuat Sunoo tau bahwa Jungwon tidak tidur ketika ia tiba tadi. Namun, mata itu sangat sedih—bukan sedih, lebih dari itu, seakan tidak ada kehidupan di sana, membuat hati Sunoo remuk. "Gimana keadaan kamu?"
"Entahlah." Jungwon menjawab setengah berbisik, membuat dahi Sunoo berkerut. Tampaknya sweater depresinya kali ini sangat ketat dan menyesakkan. Saking ketatnya, sehingga Jungwon tak tau harus mulai melonggarkan bagian yang mana; tak tau apa yang membuat depresinya kambuh, yang membuat Sunoo kebingungan bagaimana harus membantunya. "Entahlah. A-aku c-coba- a-aku udah c-coba buat tidur, d-dan aku coba mi-minum, dan aku juga coba nyu-nyuci sepraiku, tapimasihakutinggaldimesincucisetelahakukeringkantapiakubelumbisa-"
"Oh sayang, aku paham, aku paham." Sunoo berlutut, menghentikan pembicaraan Jungwon yang mulai panik dan putus asa. Dengan lembut, ia menyisir poni Jungwon menjauhi dahinya, membuat lelaki itu memejamkan matanya, setelah berbicara telah menyedot sisa-sisa energinya. "Tadi aku ngechat kamu. Hp kamu di mana, Wonnie?"
"Di bawah sofa. Kayaknya." Jungwon bergumam. Sunoo mengangguk, dan meraih ke bawah sofa, menemukan ponsel kekasihnya itu yang telah diselimuti debu.
"Gimana ceritanya bisa sampe dibawah sofa, hm?" goda Sunoo sembari tersenyum kecil, meletakkan ponsel itu di atas meja kopi dan kembali memandang kekasihnya yang memandangnya dalam diam. "Aku siapin bathtub, yah? Nanti aku cuciin rambut kamu, yah?" Jungwon tak menjawab apapun, namun Sunoo tau lelaki itu mengerti ucapannya.
Sunoo kembali berdiri setelah mendaratkan sebuah kecupan di pipi Jungwon.
Setelah bathtub terisi air dengan cukup, Sunoo menjatuhkan sebuah bathbomb galaksi kesukaan Jungwon, dan membersihkan meja wastafel kamar mandi. Sunoo tau, ketika sedang dalam kondisi seperti ini, Jungwon tak mempunyai energi untuk merawat dirinya, apalagi apartemennya. Barang-barang yang telah ia pakai, ia tinggalkan begitu saja. Bukan karena malas, namun karena sweater depresi itu juga menyedot energinya.