BUMI__POV
Langit bergerak semakin gelap. Senja perlahan mulai menghilang. Lampu-lampu gedung pun mulai dihidupkan. Terang kembali mendekat.
Aku termenung.
Duduk di sofa lobi utama gedung apartemen. Mengumpulkan keberanian untuk kembali padanya. Masih teringat dengan wajah pias anak ayam.Memikirkan bagaimana menghadapi kemarahannya jika ia benar-benar muntap padaku. Melihatnya yang sangar begitu sedikit membuatku bergidik.
Kuhela napas panjang.
Mengumpulkan kekuatan hati. Rasa rindu ini benar-benar hampir meledak namun kutahan sebisaku. Berharap keberanian yang sesaat lalu menghilang segera kembali.Atensiku beralih.
Melihat bang Wika yang keluar dari lift dan berjalan kearahku dengan wajah sedikit kusut dengan tangan kiri membawa tas kotak bekal. Mungkin anak ayam memarahinya."Sialan! Bini lu kalo ngamuk sangar banget." Keluh bang Wika sembari duduk di sofa depanku.
Aku diam.
Masih mengamati wajah bete bang Wika yang duduk sembari menggeleng kepala seolah tak habis pikir dengan sikap moody anak ayam."Emang elu tadi ngapain sih? Biasanya nggak gitu-gitu amat tuh bocah." Tanya bang Wika yang telah duduk nyaman dengan kaki disilangkan.
Aku mengedikkan bahu.
Menggeleng tak lupa mengumbar senyum. Mendengar ucapan bang Wika membuatku kembali bersemangat."Sialan! Gua yakin elu bikin gua terfitnah disini." Omelnya.
Aku terkekeh.
Membenarkan posisi duduk, hati ini mendadak hangat dengan sendirinya. Memperhatikan bang Wika seksama bersama setiap omelan lucunya."Ya udalah gua balik." Serunya sembari mengambil kotak bekal yang sedari tadi diletakkan disampingnya duduk.
"Gua sisahin setengah buat makan malam elu. Tadi gua juga makan disana dikit. Kalo ini buat Langi." Terangnya saat aku menatap intens pada kotak bekal ditangannya.
"Hem." Anggukku.
"Ya uda gua balik. Buruan naik gih. Bini elu lagi nangis kayaknya dikamar. Elu demen amat bikin dia sengsara." Serunya tuk kemudian melangkah pergi.
Aku diam.
Menelan ludah setelah mendengar ucapan terakhir bang Wika. Detik berikutnya menghela napas panjang kali ini demi melepas semua beban berat.Dua jam berlalu dengan semua pemikiran yang bergerak kesetiap penjuru hati. Dan aku masih dengan posisi yang sama. Duduk diam di sofa lobi utama gedung.
Kualihkan pandangan.
Melihat kearah jam di dinding yang sudah menunjukkan angka jam sembilan malam. Menyadari jika hari semakin merambat gelap."Baiklah." Seruku sembari menepuk kedua paha dan bangkit berdiri.
Tak seharusnya aku mengulur waktu lebih lama. Disana ada seseorang yang harus aku jaga dan obati hatinya. Meminta maaf akan semua hal yang terjadi.
Aku tahu.
Semarah dan sekecewanya anak ayam. Tapi rasa cintanya padaku tak akan pernah berkurang. Meski waktu membuat kami terpisah tanpa sebuah kata.Kukendalikan diri.
Melangkah menuju lift. Menghitung waktu hingga pintu lift itu kembali terbuka saat tujuanku telah sampai.Sedikit ragu.
Namun kuberanikan kaki ini melangkah. Berdiri sedikit lebih lama didepan pintu sebelum memutuskan menekan setiap pin pada pintu.Kuhembuskan napas dari mulut, membuka pintu perlahan. Mendapati semua ruangan gelap kecuali lampu dapur yang dibiarkan menyala.
Aku melangkah menuju pintu kamar, membukanya perlahan. Mengabaikan detak jantungku yang berdetak kurang ajar. Hingga tangan ini terasa dingin.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bad Boy
Teen FictionWARNING! [DISINI KALIAN BAKAL SAKAU DENGAN LAGU-LAGU WESTLIFE] Bagaimana rasanya saat berurusan dengan manusia terburuk disekolah? Dunia seperti berhenti berputar bahkan mungkin hidupmu terancam tak akan pernah tahu apa itu bahagia ketika manusia pa...