74. Sisi balik Val

2.1K 253 105
                                    

VAL__POV

Waktu bergulir dengan semestinya. Dan aku mencoba berdamai dengan semua itu. Mencoba lari dari kenyataan.

Dan disinilah aku berakhir, duduk bergelayut dengan semua pemikiran yang kucoba singkirkan. Menari bersama kanvas dan kuas.

Aroma cat sedikit membuatku merasa lebih baik. Sedikit mengabaikan kegelisahan yang entah bagaimana tak kunjung beranjak.

"Elu yakin nggak ada masalah?" Suara bang Idam memecah sepi.

Tangan ini berhenti bergerak, mata belokku menatap tak berkedip lukisan yang sedang kubuat. Sadar jika itu menggambarkan isi hati.

"Hem." Gumamku kembali melukis.

"Elu tak pandai berbohong, Val." Serunya.

Aku menghela napas, menghentikan kesibukan. Memutar tubuh ini, berbalik menghadap kearah bang Idam yang duduk bersandar ditembok.

Menatapnya yang sedang memainkan gitar dengan asal. Mata tajamnya menatapku tak berkedip. Tersenyum tipis saat beradu pandang.

"Lalu?" Aku menatapnya kesal.

"Azra benar, dalam beberapa hal elu emang mudah dibaca. Terutama jika mengenai hati." Terangnya.

"Ck!"

Aku berdecak, berbalik, kembali menghadap kearah lukisan yang bentuknya saja begitu rumit. Kembali menorehkan cat diatasnya.

"Gua bakal jadi pendengar setia." Terangnya.

Aku menggeleng.
Pacar kakakku ini memang selalu punya cara untuk membuatku buka mulut. Tak jauh berbeda dengan si kuntilanak Azra Brata.

"Dia bicara apa aja sama elu?" Tanyaku masih dengan kesibukan melukis.

"Hanya nyuruh gua mastiin kalo elu baik-baik aja." Jawabnya seadanya.

"Menurut elu LDR bakal berhasil kagak?" Tanyaku sekenanya.

Tak ada tanggapan.
Aku pun memilih diam, kembali sibuk dengan lukisan setengah jadi. Mengabaikan kemungkinan.

"Tergantung." Serunya sembari meletakkan gitar diatas meja.

Aku tersenyum.
Mengerti kemana bang Qidam akan memberikan nasehatnya. Hanya saja aku butuh sedikit dukungan.

"Kalau kalian adalah kumpulan orang yang setia maka segalanya akan berjalan mudah." Terangnya.

Aku menghela napas.
Menghentikan melukis, merapikan cat dan yang lainnya. Membersihkan tangan yang berlumuran cat.

Aku beranjak, berjalan menuju tempat penyimpanan. Meletakkan peralatan lukis dengan hati-hati setelah menutup lukisan setengah jadiku dengan kain.

"Setia." Gumamku.

Karena pada akhirnya, hanya satu kata itu yang akan tetap membuat kami berjuang untuk mempertahankan hubungan.

"Dan saling mengerti." Lanjutnya.

Aku terdiam.
Tak menyadari jika bang Qidam telah berdiri didepanku, mengusak rambutku penuh sayang. Wajah itu selalu berhasil membuatku menemukan kehangatan.

"Tapi dalam banyak artian." Lanjutnya.

Ia duduk diatas meja, menepuk meja disampingnya, memintaku untuk duduk disana dan aku pun menuruti permintaannya itu.

"Saling mengerti jika kalian itu berjalan pada tujuan yang sama." Lanjutnya setelah aku duduk disebelahnya.

"Saling mengerti jika kalian merasakan rindu yang sama, sakit yang sama, luka yang sama, bahkan harapan yang sama." Imbuhnya.

The Bad BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang