15. Ngelantur

5.7K 510 19
                                    

BUMI—POV

Suasana hening ini mengusik, wajahku semakin menggelap demi mendengar ucapan seenak perut orang tuaku. Ribuan umpatan menumpuk dikepala.

"Kamu kudu nurut, Boy." Tegas bokap.

Mata tajam itu menatapku penuh intimidasi, hidung mancungnya bergerak pelan dengan bibir tipisnya yang tetap merah.

Meski telah berumur setengah abad itu tak membuat wajah bokap menua. Ia masih terlihat seperti laki-laki berumur 38 tahun. Alis tebalnya sedikit terangkat saat menatapku.

Wajah itu tak jauh berbeda dariku. Sadar jika wajah tampanku diturunkan darinya. Hanya saja aku jauh lebih tinggi darinya yang hanya memiliki tinggi 180 cm.

"Sejak kapan aku diharuskan nurut?" Tantangku dengan menatapnya lekat.

Ia menghela napas panjang, menatapku sendu. Dan disinilah kami, bersitegang diruang kerja bokap saat pulang kerumah.

"Dasar anak keras kepala." Itu suara nyokap.

Mata beloknya menatapku nyalang, mengingatkanku dengan anak ayam. bibir tipisnya yang tertutup lipstik merah marun terkatup rapat. Berhidung mancung dengan alis sedang.

Rambut panjangnya diikat tinggi memperlihatkan lehernya yang jenjang dengan paduan kulit seputih susu.

"Buah jatuh nggak jauh dari pohonnya." Sindirku.

"Semua ini demi kebaikanmu, Boy. Kamu berkualitas, jadi kalau lanjut sekolah di Amrik, papa yakin kamu akan banyak mendapat ilmu baru dan lingkungan baru." Terangnya.

"Aku nggak butuh itu!" Sarkasku dengan nada tinggi.

"Ini demi kebaikanmu di masa depan." Nyokap kembali bersuara.

"Masa depan aku sendiri yang tentukan karena aku juga yang nantinya ngejalani bukan kalian. Jadi kalian tidak berhak mengaturku."

Aku bangkit berdiri sembari menahan emosi, tak tahan berlama-lama dengan mereka yang bahkan tak ingat untuk pulang.

Masa depan?
Yang benar saja, itu semua hanya alasan untuk mengatur hidupku dan aku tak akan pernah membiarkan mereka berhak atas diriku.

"Bumi Pramana?!" Tegas bokap.

"Tuan Danu Pramana, aku tidak suka diatur-atur." Seruku dengan semua penekanan disetiap katanya.

Ia menghela napas, menatapku menyerah, mengusap wajahnya dengan kasar setelah memutuskan tatapan mata kami.

"Heran gua, setahun pulang sekali. Datang-datang sok ngatur." Dumelku sembari melangkah menuju pintu.

Aku yakin mereka mendengarkan ocehanku itu karena aku memang berniat menyindir mereka habis-habisan.

Semenit lagi aku bertahan diruangan bokap, aku nggak menjamin sumpah serapahku akan tetap duduk manis dipikiranku.

Blam!
Kututup pintu sekeras mungkin. Bodoh amat jika membuat mereka terkejut. Apa peduliku dengan kesehatan jantung mereka.

"Kak, gimana?"

Aku menoleh, mendapati wajah cantik dengan rahang sedikit bulat itu menatapku khawatir. Mata coklatnya berkaca-kaca bahkan hidung bangirnya sedikit memerah.

Rambut hitam legamnya yang sepinggang digerai dengan poni yang menutupi keningnya. Bibir tipisnya tersenyum ragu saat aku menatapnya sendu.

"Tenang aja, gua nggak bakal kemana-mana." Aku berjalan menghampirinya, mengacak-acak rambut halusnya.

"Gua nggak mau sendirian dirumah besar ini." Keluhnya.

"Tenang saja Langi Pramana." Ucapku sembari mencubit pipinya yang tembem.

The Bad BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang